Jumat, 16 Maret 2012

KATA BIJAK: Keluarga Bahagia

1. yang menjadikan bahagia suatu rumah tangga, bukan cinta, bukan harta, juga bukan tahta, tp pengertian dan rasa saling ingin membahagiakanlah hakekatnya..
(asamardi)

2. Bahagiakanlah keluarga kita sebelum membahagiakan orang lain.

3. Kesolehan keluarga menjadi penentu bagi tegaknya sesuatu bangsa yang aman, makmur dan sejahtera.

4. Sebahagian dari kesempurnaan kebahagiaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia.

5.Ciri orang yang mencintai keluarganya adalah dia selalu bersabar dalam mendidik akhlak dan keimanan keluarganya.

6. Seorang yang bekerja keras untuk menunaikan tanggung jawab kepada keluarganya adalah bukti kasihnya kepada keluarganya.

7. Tingginya darjat suami ditentukan oleh perjuangannya menjadi pemimpin rumah tangga, sehingga dituntut menjadi teladan yang baik bagi keluarga yang dipimpinnya.

8. Sesungguhnya keluarga itu tempatnya yang aman dan selesa dalam berkongsi suka dan duka.

9. Kasih sayang yang terjalin diantara anak dan ibubapa mampu melahirkan sikap jujur dan terbuka.

10. Kekuatan cinta yang tulus mampu menggerakkan lisan untuk senantiasa berterima kasih kepada pasangan, anak ataupun ibubapanya.

11. Mencintai keluarga adalah amanah bagi setiap manusia.

12. Pecinta keluarga tidak akan membiarkan dalam rumahnya berlaku keburukan dan kemaksiatan.

13. Anak-anak lebih memerlukan contoh dan keteladanan dari kedua ibu-bapa mereka daripada celaan dan kekerasan.

14. Kehidupan kita akan berubah apabila dimulai dengan perubahan diri, keluarga dan persekitaran.

15.Mahkota orang tua adalah anak cucunya dan kehormatan anak-anak adalah kerana nenek moyang mereka.

16. Apabila setiap ahli keluarga saling mencintai, menyayangi, dan saling mengalah, nescaya seluruh masyarakat akan menjadi baik, aman dan damai.

17. Keharmonian keluarga terletak pada sikap tanggungjawab dan terbangunnya komunikasi yang sihat diantara ahli keluarga.

18. Komunikasi dalam keluarga akan senantiasa terpelihara selama komunikasi dengan Allah pun tetap terjaga.

19. Keluarga yang dekat dengan Allah akan menjadi keluarga yang layak ditolong olehNya dalam setiap urusannya.

20. Rasul saw bersabda, paling dekat dengan ku kedudukannya kelak pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya.

21. Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia adalah seumpama seorang mujahid dijalan Allah.

22. Warisan termahal dan terbaik dari diri kita untuk keluarga, keturunan, dan masyarakat adalah keindahan akhlak kita.

23. Allah mencintai orang-orang yang selalu berjuang memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat.

24. Cintailah suami atau isteri kita dengan memuliakan ibubapa dan keluarganya.

25. Bagaimana kita bersikap kepada anak-anak kita, begitu pulalah mereka akan bersikap kepada kita. Maka berikan sikap yang terbaik kepada mereka

26. Jika Allah cinta kepada sebuah keluarga, maka salah satu cirinya ialah keluarga itu dibukakan hati untuk ilmu agama.

27. Kebahagiaan sesuatu keluarga bukanlah diukur dari segi mata-benda, tapi sejauh mana keta’atan keluarga kepada Allah.

28. Ibadah seorang ibu adalah modal bagi lahirnya anak-anak yang soleh yang akan menjadi benteng bagi ibubapanya kelak di akhirat.

mutiara kata, http://permatakata.wordpress.com/2008/04/17/mutiara-kata-keluarga-bahagia/

Catatan Istri: Menjadilah Seperti Umar Untukku

Kebayang gak? sebesar apa Umar..jika mendengar sebagian kisahnya ketika berperang, beliau mengendarai kudanya hingga kakinya terseret ke tanah dan kakinya mampu mengerem lajunya sang kuda..... dengan menggenggam pedang di tangan kanan dan kirinya yg siap menghunus leher-leher musuh. Sebesar dan seberani apa sahabat Rosulullah itu yg bernama Umar? Hingga iblis pun takut dan kabur jika berpapasan dengan beliau.


si pemilik tubuh kekar yg selalu ada di garda depan pasukan Rosulullah SAW, memang luar biasa pemberani, tubuh kekarnya memperlihatkan dirinya sebagai orang yg garang dan disegani di tengah-tengah pandangan para sahabat Rosulullah lainnya. Ya....dan memang kenyataannya seperti itu.Tapi tahukah.....bagaimana Umar jika berhadapan dengan istrinya?? Seperti bayi di pelukan ibunya (waw...bayi raksasa dong....hehe). Dan bagaimana dirinya jika berhadapan dengan istrinya yg sedang cerewet dan marah??


ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa. Menuju kediaman khalifah Umar bin Khattab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar. Apa yang membuat seorang Umar bin Khattab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel ? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun ?

Ketika istriku marah, akan kubuka hatiku seluas langit dan bumi, maka tumpahkanlah padaku wahai istriku.....jika aku yg ingin marah, tak kan kutumpahkan padamu wahai istriku, karena dunia ini luas, seluas langit dan bumi maka akan kutumpahkan saja pada luasnya langit dan bumi milik Allah itu...” (pinter puisi juga ya....tapi kurang tahu, apakah ini perkataan Umar langsung atau sudah digubah. Pokoknya Ustadz ngomong gituh...)




waw....co cwitttt...

Beginikah suami dambaan wanita??? yg berani dan gagah di luar dan lembut di rumah....


Alhamdulillah....Bagiku suamiku adalah Umarku....

Meski tubuhnya tak sekekar Umar....meski beraninya tak se-pemberani Umar....kuharap kelembutannya semakin lembut layaknya Umar kepada istrinya....(menjadilah sseperti Umar untukku...)

Meski hanya bagian kecil yg tak seberapa dari kehebatan-kehebatan Umar yg ada padanya, kuharap dia mampu mencetak generasi Umar Umar di masa kini.....



Allahu Akbar....!!!

.Menjadilah Umar untukku.... 

Cerpen: Kursi oh Kursi

Ternyata banyak cerita diseputar kita bila dirunut banyak yang menarik. Walau Cuma sebuah cerita yang sederhana. Tentang kursi misalnya. Saya ingat saat awal menikah, kami hanya menempati satu ruangan yang cukup kecil untuk bernaung. Tentu saja itupun masih kontrak. Herannya saya fine-fine saja, sedikitpun tak menyesali “kepapa-an” ini. Maklum keluarga baru, semuanya bak surga asal didekatmu,..suit,..suit,… Sebenarnya yang punya kontrakan, wanita tua yang sholehah, yang mencintai kami (sudah kelihatan baunya bila dicintai orang) memberi pinjaman kami satu set kursi kuno. Tapi setelah kami pikir-pikir satu set kursi itu malah memakan banyak tempat karena tempat yang sangat kecil. Akhirnya kursinya kami keluarkan, dan membeli karpet baru tuk sekedar bisa duduk diruang yang kami anggap “ruang tamu”. Ketika anak pertama lahir, tak masalah dengan ruangan kecil kami, bila ia sedang rewel, bisa kuhibur diluar ruangan, yang lagi-lagi berandanya tak terlalu lebar.
Tapi ketika anak kedua sedang bersemayam didalam perut, saya sudah mulai jengah dengan ke”sempitan” ini. Kubilang pada suami untuk usahakan tempat yang lebih lega. Dua anak, dua orangtua tak bisa berbuat banyak untuk mengekplorasi diri ditempat yang sangat kecil, meski tak sampai membuat sempit hati. Syukurlah Allah sangat baik, kami diperbolehkan tempati rumah dinas yang baru saja direnovasi. Ini yang kami sebut “rumah” yang sesungguhnya. Karena ada banyak ruang, beranda, dapur juga kamar mandi .Dari kontrakan kami yang pertama, kerumah dinas suami jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 300 meter, karena jumlah barang kami yang sedikit, pindahannyapun cukup pakai “keseran” semacam gerobak yang didorong orang. Tak masalah, apalagi si keseran tadi Cuma dua kali bolak balik, beres. Masalahnya ruang tamu yang lebar, tak terpikir kursi yang menghiasinya. Namun, lagi-lagi Allah memberi kami senyum. Saat berkunjung kerumah mertua, sembari kami beritahukan kepindahan kami, beliau memberi suami amplop, katanya untuk beli satu set kursi tamu, kata beliau biar simbah kalau berkunjung tak perlu slonjoran, duduk dibawah. Suamiku dengan sigap menjawab:” Pak, tak usah ,..tak usah sungkan,..”katanya sambil menerima dengan binar mata yang berseri.
Saat kami pindah rumah lagi (maklum kontraktor, sabar saja deh) ke rumah dinas yang lain lagi, ternyata kursi yang diberi oleh mertua sudah mulai rusak. Yah, harap maklum sudah berusia empat tahun dan kwalitasnyapun tak bagus. “ono rega,..ono rupa” maksudnya ada harga ada kwalitas, tapi kami tak gundah, ada kursi pengganti dari “peninggalan” ibu yang pindah rumah. Nah saya ketiban kursi-kursinya, lumayan tuk ganti kursi yang mulai rusak. Lha kok ndilalah lagi, kami disuruh pindah lagi, sebelum aba-aba jelas dari pimpinan, saya sudah “mencium baunya”. Kemudian saya bilang pada suami ”Mas, sepertinya sudah pada titik nadir dalam urusan kontraktor alias pindah-pindah terus , kita harus punya rumah,..” . Suamiku mengangguk, tanda seorang suami, ayah yang bijak, sekuat tenaga mau beri payung yang kuat tuk berteduh buat keluarganya. Aduh bangga dan terharunya,..
Akhirnya, rumah mungilpun akhirnya terbeli. Syukur tak terhingga, meski mungil tapi cukup apik ketika kami renovasi jadi dua lantai. Trus kursinya? Yah tetep kursi lawas-ku, perolehan dari ibu. Namun akhirnya setelah sekian lama baru kepikiran beli kursi sendiri, tentu dengan putar otak agar satu set kursi minimalis itu berharga tak semestinya, alias harga diskon karena ,..seperti biasa harga pertemanan. Solusinya cari teman yang jual kursi. Tak terkira, bahagia diriku, setelah sekian lama berumahtangga, baru kali ini punya kursi sendiri ! Kursi yang nyaman tuk diduduki karena tak kredit, Kursi tempat tamu datang dan utarakan maksud hatinya, kursi tempat kami berkumpul untuk bersama baca Al Qur’an seusai shalat maghrib dan subuh,..bukan kursi untuk duduk dan merencanakan keburukan, membuat ghibah atau berbuat aneh-aneh lainnya.
Ada apa dengan kursi? Kenapa orang se Indonesia baru suka meributkan si Kursi ini? Woow jebulnya satu buah kursi anggota DPR seharga sebelas sampai dua belas kali lipat dari harga kursi satu set kami,..sungguh berlebihan! Belum lagi renovasi ruang rapatnya, sampai 20 milyar? Langsung pendapat bersliweran,yang hampir semuanya bernada “min0r”. Semuanya nyata di mark up seperti temannya make up ya,.mosok harga pengadaan kalender 1,3 milyar, obat kuat 250 juta lebih, renovasi parkir sepeda motor, bisa ratusan sampai milyaran. Memang obat kuat untuk siapa, biar apa?, kalender segitu itu mau dicetak berapa juta buah?, lha sing mau parkir sepeda motor itu siapa saja? Piye? Hampir semua tamu dan anggota DPR naik mobil ber AC yang kinclong. Tukang kebun, juru parkir atau siapa, dengan jumlah sebegitu fantastis? Kami pun terbahak melihat seorang ibu yang berapi-api menerangkan setiap sudut ruang pertemuan baru itu, dalam hati,..ckck,..hebat berapa banyak orang Indonesia yang berpikiran se”hebat” itu,..
Saya teringat dengan seorang pemimpin umat yang sangat rendah hati. Beliau memilih tidur beralaskan daun kurma kering, hingga ketika bangun, terlihat “tanda mata” dipipinya dari alas tidurnya. Bahkan saya ragu apakah beliau punya satu set kursi? Ya Nabi-ku Muhammad saw, tak pernah berpikir sesuatu yang bersifat “hedonism” tuk rencanakan sesuatu yang terbaik buat umatnya. Ditengah kesederhanaannya, beliau hasilkan sesuatu yang hebat, luarbiasa untuk seluruh umat didunia. Bisakah pemimpin kita yang duduk dikursi empuk bin mahal itu langsung bisa “encer” memproses segala sesuatu yang berhubungan dengan memikirkan kebutuan masalah masyarakat? Atau malah jadi semacam pemeo, semakin empuk kursi, semakin ngantuk, ketiduran hingga amnesia tuk pikirkan kesejahteraan rakyat? Dan lampu diruangan rapat itu bak lampu disko, yang bisa disetel sesuai kebutuhan. Sangat terang, sedang atau redup mendayu-ndayu. Apakah mampu menerangi hati Wakil kita yang duduk disitu agar tak suka dengan uang panas, menjauhi suap dan hal-hal tak amanah lainnya?. Bisakah mereka rendah hati dan bijak diri bak Umar bin Abdul Aziz, pemimpin dinasti Umayyah yang sangat saya banggakan. Kisah yang inspiratif dari sebuah lampu. Beliau meniup lampu minyaknya, diruang kerjanya pada malam hari (karena beliau pekerja keras), saat anak kandungnya menjumpainya untuk urusan keluarga. Anak lelaki yang kebingungan karena berbicara dalam kegelapan dengan ayahnya itu, kemudian baru paham saat ayahnya berkata : “Nak, kita berbicara masalah keluarga, sedang lampu yang berminyak itu milik rakyat. Tak sepantasnya kita pergunakan milik rakyat hanya untuk urusan pribadi,..Subhanallah,..tercekat saya dengan pernyataan Umar itu. Kubayangkan dengan mata berbinar dan seolah memohon para wakil rakyat itu mengerti, kalau kursi, ruang rapat yang megah, mobilnya, dan apapun yang menempel pada atributnya adalah milik rakyat. Bila sudah diberi yang terbaik, apa yang bisa mereka lakukan untuk rakyat? Ah,.daripada mikirin kursi mereka, mending duduk dikursiku sendiri yang tak terlalu empuk, sambil pandangi dari kejauhan di televisi, act apa yang akan mereka suguhkan hari ini, untuk esok,..sambil masih bingung dan penuh tanda Tanya, obat kuat itu untuk apa ya,..mungkin ada yang tahu?
Sukoharjo, 21 Januari 2012
Salam hangat yang paliiiing anget

catatan my sister, candra nila murti

Cerpen : Ironi senja Sang Runi

Sudut dapur yang remang dan lembab. Nyala api lampu minyak berbahan kaleng bergoyang-goyang ditiup angin. Asap di tungku melayang-layang mengitari kami yang berada disekelilingnya dan kemudian menerobos keluar melalui celah-celah geribik dapur yang reot. Mata bening Mida, adik bungsuku, berkilat-kilat dan tersenyum senang saat bau wangi ubi kayu yang dibakar dalam tungku menyentuh penciumannya. Sementara Bayu, adik yang lahir tepat dibawahku justru sudah mulai mengantuk selepas maghrib tadi. Aku terus membenarkan nyala arang dari kayu hutan dan ubi didalamnya agar matang sempurna. Bunyi gemerucuk diperutku makin sering saja, seolah protes untuk segera diisi makanan setelah seharian tadi, sepulang sekolah aku belum memasukkan apapun ke dalamnya kecuali air tawar jernih di sungai tempat kami biasanya mencari sayuran rawa yang tumbuh disekitarnya.
Bau wangi ubi membuat anganku melayang membayangkan aku sedang makan roti panggang yang didalamya ditaburi sosis dan keju seperti iklan yang pernah aku lihat di tivi Bu’de Wiwit. Lezat sekali. Padahal bagaimana rasa sosis dan keju akupun belum tau, kata apak* rasanya gurih. ”Runi, coba ambil singkongnya satu untuk adikmu. Sepertinya sudah ada yang matang.” Uni* Lin yang sedari tadi memangku Mida sambil membaca buku pelajaran membuyarkan lamunanku. Aku segera memilih-milih ubi di tungku ”wah, rupanya sudah ada tiga yang matang, Un, ini yang paling empuk buat Mida ya!” aku segera membawanya dan mengupaskannya untuk Mida. Bibir imut Mida tersenyum jenaka, ia kegirangan. ”Biar uni Lin saja yang kupas, nanti tanganmu kepanasan,” pinta uni Lin. ”Bayu mau, Bayu mau! Bayu kupaskan juga ya, Un!” rupanya Bayu tidak jadi ngantuk begitu ubinya matang. Kami makan berbarengan.
Lega rasanya, akhirnya perutku juga tubuh kecil adik-adikku terisi makanan. Meski lagi-lagi harus diisi dengan singkong. Tapi tak apalah daripada tidak makan sama sekali. Musim paceklik begini, hidup didesa bisa makan saja sudah untung. Lagi pula besok pasti bisa makan dengan nasi lagi, sebab apak yang membantu tanam diladang orang dan pulang seminggu sekali, besok sudah pulang. Dalam perjalanan pulangnya, apak selalu pulang dengan barang-barang belanjaan yang dibelinya di toko pak Poniran. Pak Poniran orang kaya di tempat kami. Tanahnya luas dan hasil buminya melimpah. Ia punya mobil truk pengangkut hasil bumi. Hasil buminya selalu dibawa dengan truknya untuk dijual dikota. Terkadang juga sisanya dijual di tokonya yang besar. Aku selalu terkagum-kagum melihat mobil truknya juga rumahnya yang bagus. Tapi ia sangat galak dan suka memaki. Ia selalu berteriak-teriak kalau ada benda-benda miliknya dipegang-pegang atau dikotori. Meskipun tanpa sengaja. Aku pernah kena damprat dan dicaci maki gara-gara kakiku yang tanpa alas penuh lumpur mengotori semen lantai teras rumahnya saat aku mengintip acara tivi diruang tamunya.
Sejak saat itu aku lebih suka liat tivi dirumah bu’de Wiwit. Ia sering memberi aku makan saat aku nonton tivi dirumahnya. sebenarnya aku malu sering-sering kesana dikasih makan. Aku sudah besar, tapi kalau sudah ditawari makan, naluri perut yang selalu menang. Apalagi Bayu dan Mida. Aku tau bu’de kasihan sama aku juga Bayu dan Mida yang sudah ditinggal ibu tujuh bulan yang lalu. Semasa ibu hidup, bu’de Wiwit sangat akrab dengan ibu. Bu’de Wiwit menganggap kami seperti anak-anaknya sebab anak-anaknya sendiri sudah berumah tangga dan hidup memisah. Tapi kata uni Lin, aku jangan terlalu sering kesana. Tak enak kalau terlalu sering dikasih makan.
Bu’de Wiwit dan suaminya orang Jawa yang paling baik yang selalu membela kami saat keluarga kami mendapat ejekan dari penduduk lainnya. Maklum, keluarga kami memang beda diantara keluarga-keluarga lainnya. Tak selevel. Kami yang berbeda suku dan kami yang sangat miskin.
Kami tinggal didesa transmigran di Lampung yang penduduknya hampir semua dari jawa, sementara keluargaku, bapak dari Padang dan ibu dari Bandung. Apak sering diejek hanya karena apak berdarah Padang yang tidak bisa tani. Berdagang kain keliling desa pun ternyata apak bangkrut. Sebenarnya apak tidak akan bangkrut kalau barang dagangannya tidak habis dicuri orang. Kata bu’de Wiwit yang nyuri penduduk sekitar sini juga. Entahlah.
Sementara selentingan wanita-wanita tukang gosip, ibu disebut sebagai wanita yang sering menggoda suami orang. Aneh, apa mereka buta kalau selama ini justru ibu yang sering diganggu oleh suami-suami mereka. Dan apak tidak pernah ambil pusing dengan segala nasib yang menimpa. Apak lebih sering pasrah dan diam. Karena kebangkrutan apak, untuk tetap mampu menghidupi keluarga, apak jadi buruh. Buruh apa saja. Tapi karena pencarian utama didesa adalah tani, ya apak lebih sering buruh tani. Waktu ibu meninggal, Mida masih berumur satu setengah tahun, aku masih kelas lima Sekolah Dasar, Bayu lima tahun dan Uni Lin kelas satu Sekolah Menengah Atas. Sekolah Uni Lin jauh sekali. Didesa atas yang agak sedikit ramai. Kata uni, itu Sekolah Menengah Atas satu-satunya dari berbagai desa di wilayah kami. Yang bersekolah disana hanya anak orang-orang kaya didesa, sementara uni bisa masuk karena uni pintar sehingga dapat beasiswa. Semenjak ibu meninggal, uni Lin yang mengatur urusan rumah tangga. Membagi uang pemberian apak yang satu minggu tidak pernah cukup meski sudah dibuat sehemat mungkin. Kalau sudah begitu, ya terpaksa makan ubi-ubian liar dari kebun orang yang biasanya buat pagar. ”Runi, Bayu, Cepatlah shalat Isya, setelah itu belajar. Kalau sudah ngantuk, segera tidur. Uni mau menidurkan Mida dulu.” Uni berjalan menggendong Mida ke kamar. Aku segera menuju ke ujung dapur. Bayu berlari mengikuti. Ada dua bak air yang sudah kuisi penuh setiap sore. Aku dan Bayu segera berwudhu. Air wudhu menggenangi lantai rumah yang beralas tanah dan kemudian meresap ke dalamnya. Aku ingin hari segera berganti esok pagi. Berharap akan menemukan kebahagiaan saat menjumpai apak. Sebab sebenarnya aku sudah bosan menjadi orang miskin yang terlalu sering dihina. Terlebih tak diakui keberadaannya.
Sering ketika aku dan Bayu ingin bermain dengan teman-teman, oleh Hardi Cs aku tak diikutkan dalam permainan. Hardi anak pak Tugiran bos Perkebunan di tempat kami. Karena itu mereka berdua merasa anak-anak yang hebat. Anehnya, setiap apa yang mereka lakukan selalu dituruti teman-teman yang lainnya. Percuma, walaupun sudah aku lawan, tetap saja aku tidak punya teman. Mereka terlalu merendahkan aku. Lagi-lagi karena aku berbeda suku dengan mereka, terlebih karena aku paling miskin diantara mereka. ”he, wong Sundang ora usah melok-melok dolanan neng kene. Rono-rono ngadoh!” selalu begitu yang diucapkannya. Huh! Awas, suatu saat akan aku balas mereka.
♠♠♠♠♠
Jam lima sore aku, Bayu dan Mida sudah duduk dengan manisnya didepan rumah. Menanti-nanti kedatangan apak. ”Uni Runi, nanti apak bawakan Bayu dan Mida oleh-oleh yang banyak, kemarin Bayu sudah memesannya. Iya kan ,Ni?” bayu mulai berceloteh menyebutkan oleh-oleh apa saja yang ia minta. Namun yang ditunggu, hingga Maghrib menjelang belum datang juga. ”Kenapa sampai malam apak belum juga pulang ya, Un?” Tanyaku resah pada Uni Lin. ”coba ditunggu saja.” Dan hingga jam delapan malam apak belum juga sampai. ” Sudahlah, sekarang kita tidur. Mungkin apak kemalaman atau malah tak pulang. Kalau sampai besok apak belum pulang, kita tanya pak Selamet. Pak Selamet kan satu ladang dengan apak. Ayo sekarang kita tidur saja!”
Ah, sampai fajar menyingsing ternyata apak belum datang juga. ”Un, apak tidak pulang. Berarti kita harus makan singkong lagi dong, berasnya tinggal satu gelas, hanya cukup buat bubur Mida.” ”Tak apa, biar nanti uni yang cari pinjaman beras. Diganti besok setelah apak pulang.” Mata uni Lin sembab, pasti semalaman uni menagis.
Sehari, dua hari, seminggu, apak tidak pulang dan belum ada kabar. ”Runi, koe harus tau, Nduk. Sekarang sedang musim kemarau. Perkebunan tempat bapakmu bekerja ndak bisa tanam dan panen dengan baik. Jadi para pekerjanya juga belum digaji. Mungkin bapak kalian mencari kerja diperkebunan lain. Kalian sabar saja dulu” bu’de Wiwit menasehati. ”iki, bu’de ambilkan makan buatmu dan Mida. Ayo ndang dima’em. Nanti Bayu suruh kesini, ya. Biar ma’em disini juga.” Bayu juga belum makan, tentu nanti ia kesini juga. Sudah dua minggu sejak ketidakpulangan apak, tiap hari kami selalu makan ditempat bu’de Wiwit. Sebenarnya uni Lin selalu masak, tapi manalah kenyang kalau sehari hanya makan secentong nasi yang dicampur parutan singkong dengan lauk garam.
Ah, besok aku ikut Surati ke ladang pak Tugiran saja. Rencananya mau ikut kerja upah panen kedelai. Lagian aku sudah malas sekolah. Gara-gara ibu guru Tantri dikelas nasehati aku yang nunggak belum bayar SPP empat bulan, aku jadi sering diejek teman-teman. Siapa tau kerja upahanku bisa buat bayar SPP. Tapi aku tetap saja malu, gara-gara aku kesekolah ketahuan nggak pake celana dalam, aku jadi terus diejekin tiapa hari. Aku memang nggak punya banyak celana dalam. Cuma punya dua celana. Satu celana olahraga sekolah, satunya celana dalam beneran. Kalau dua-duanya kotor atau basah, ya terpaksa nggak pake. Masih enak Bayu anak laki-laki, kalau nggak pake celana dalam nggak ketahuan.
♠♠♠♠♠
Subuh jam lima, uni Lin siap-siap untuk berangkat kerja. Kata uni, ladangnya jauh. Sudah dua minggu sejak apak tidak pulang, uni Lin tidak pernah sekolah dan memilih bekerja upahan di ladang. Uni Lin tidak tahu kalau aku juga mau kerja upah panen kedele diladang pak Tugiran. Kalau sampai uni tau aku tidak sekolah, aku bisa dimarahnya habis. Apalagi setelah apak dan ibu tidak ada, uni terlalu sering marah-marah. Juga marah-marah sama bapak soal keuangan yang tak mencukupi. Apak hanya diam saja atau malah sering juga menangis.
Kata uni apak terlalu lembek, sehingga setiap usahanya tak pernah sukses. Dihina orangpun apak diam. Dirumah tak bisa makan apak juga diam. Apak Cuma bilang ” apak lah usaha, tapi memang indak ado hasilnyo, ya ba’ajuo lagi.... Coba wa’ang sendiri Lin, cari pinjaman pitih atau barei jo tetanggo sabalah* ” Kalau sudah begitu, omelan Uni justru semakin menjadi.
Matahari sudah terang. Aku dan Surati berjalan beriringan melewati persawahan dan kebun-kebun yang gersang. Surati teman satu-satunya yang akrab denganku. Sebab hanya aku dan dia yang tidak punya teman dan sering dihina oleh Hardi Cs. Bedanya, Surati diejek karena ia terlalu dungu dan bertubuh cacat. Bahkan ia sering diolok-olok gila. Menurutku Hardi Cs-lah yang gila. Mereka selalu mengejekku dan Surati tanpa sebab setiap bertemu. Aku suka berteman dengan Surati, karena menurutku ia tulus dan lugu. Meski aku sering dibuat tertawa terbahak-bahak oleh tingkah dan kata-katanya yang tak jarang tak kumengerti.
Hari kedua aku bekerja, ternyata Hardi tidak sekolah. Ia ada dikebunnya. Ini berarti nasib sial bagi kami. Sedari pagi aku datang ia sudah menatapku dan Surati dengan tatapan tak suka. Kami akan memanen kedelai ditempat yang sedikit jauh saja dari tempat ia dan pak Poniran mengawasi para pekerja.
Tapi sial, tak lama setelah kami mulai bekerja. Ia mendekati aku dan Surati. ”Heh!!! Koe ngopo melok kerjo ndek kene!?” Hardi menbentak kami. ”Rono...!!! poko’e koe wong loro ora oleh melok kerjo nang ladangku, Ndang lungo!!!* ” teriakannya makin keras, tapi pasti tak sampai terdengar oleh ayahnya. ”aku wes bilang sama bapakmu wingi, Har. Kata bapakmu boleh, kok* ” aku tak gentar. Sementara Surati ikut-ikut berbicara dengan kata-katanya yang tak jelas. ”alah...! poko’e kowe, opo meneh wong edan iki, ojo neng kene meneh. Sampe nggak ndang lungo saiki juga, tak bogem kowe. Wani Opo!!!* ” Hardi semakin marah. Bahkan ia menendang aku dan Surati. Aku masih bisa mengelak. Tapi Surati, dengan tubuhnya yang untuk berjalan saja terseok-seok, mendapat tendangan dari Hardi ia langsung terpental. Kami tak akan bisa bertahan lagi. Percuma. Kalau kami masih tetap disana, bisa-bisa kami jadi bulan-bulanannya. Aku dan Surati langsung pergi dari kebun kedelai itu dengan pikiran yang campur aduk. Antara benci, dendam dan sekaligus sedih. Terutama sedih dengan kemiskinan ini. Sehingga terpaksa harus hidup ngenger begini.
”yah, Sur, berarti kita nggak dapet upah hari ini. Atau paling tidak kalau kita masih bisa bekerja sampai jam makan siang, kita bisa dapat jatah bungkusan makan.” Surati nyengir kuda mengiyakan dengan giginya yang hitam bolong-bolong. Dan itu berarti juga aku tidak bisa membawakan Bayu dan Mida separuh dari jatah makanku seperti kemarin. Kasihan Bayu dan Mida setiap hari selalu ditinggal aku dan Uni pergi sekolah. Untungnya Bayu sudah bisa menjaga Mida. Meski kalau aku dan uni sampai rumah, Bayu, Mida juga isi rumah sama-sama berantakannya.
Sampai diujung kebun kedele yang kemarin kami panen, Surati menunjuk-nunjuk biji kedelai ditanah yang tercecer dan memungutinya. Wah, ide bagus. Biji-biji kedelai yang sudah terpecah dari kulitnya memang banyak tak dipunguti. Dari sini tentu Hardi tak akan bisa melihat kami. Yah, kalau tidak bisa bekerja, kan masih bisa dapat biji kedelai. Kalau dapat kira-kira satu rantang bisa dijual di toko pak Poniran. Atau direbus buat dimakan juga gurih. Bisa buat mengganjal perut yang lapar.
Keasikan, ternyata matahari telah diufuk barat. Akan terbenam. Kedelai sudah kami kumpulkan hampir dua rantang. ”ayo kita pulang, Sur! Hari sudah mulai gelap. Uniku pasti sudah sampai rumah!” Ah, kenapa aku bisa lupa pulang terlalu sore. Dengan terburu-buru aku berjalan pulang. Surati terseok-seok mengejarku.
” Kenapa kamu mulai malas sekolah Runi? Kalau Uni nggak sekolah, kamu juga nggak sekolah, mau jadi apa kita. Biarlah saja uni yang bekerja. Kamu jangan ikut-ikut. Apa kamu nggak sekolah karena malu belum bayar SPP? iya? jadi orang susah itu jangan terlalu sering malu. Temanmu juga pasti banyak yang belum bayar SPP, nanti kalau uni sudah dapat upah banyak, uni bayar. Yang penting tetap berangkatlah sekolah. Jangan malas sekolah....dst...dst...” benar saja, sampai rumah aku langsung dimarah uni Lin. Sampai panas kuping ini dinasehatinya. Sebenarnya nasehat uni Lin benar, tapi aku capek juga kalau setiap hari diomelinnya. Bayarin SPP? Huh, alasannya sama juga seperti apak. Nanti lagi-nanti lagi. Diundur lagi-diundur lagi. Tapi, pada saat seperti ini, aku teramat merindukan apak. Apak tidak seperti uni yang cerewet. Apak lembut, tidak pernah marah. Kalau aku salah apak Cuma menasehati dengan lembut. Pernah aku pulang sekolah tidak langsung pulang, tapi pergi kesungai cari ikan sampai sore dan kehujanan. Saat pulang dan sampai depan rumah, apak cuma mengancamku dengan membawa sapu lidi. Tapi ternyata tidak sampai dipukul. Malah aku langsung dimandikan dan dihanduki dengan kelembutannya sambil menasehati. Apak... Aku rindu.... dimana sekarang apak? kenapa apak belum juga pulang-pulang? Ya Allah... semoga tidak terjadi apa-apa dan semoga apak cepat pulang... kami merindukannya.....
♠♠♠♠♠
aku kembali bersekolah. Meski dengan pikiran yang tidak tenang. Sampai pada suatu sore. Saat aku pulang sekolah dan uni Lin belum sampai rumah. Dari samping rumah terdengar sayup-sayup suara apak bercakap-cakap dengan Bayu dan Mida. Apak kembali lagi ke rumah....! Alhamdulillah, ya Allah! Aku telah lama rindu apak ada kebahagiaan dihati ini saat tau apak telah kembali. Tapi apak terlihat sangat kurus.
Saat ditanya kemana saja apak selama ini. Apak menangis dan menciumi kami. Apak minta maaf pada kami karena telah menelantarkannya. Apak bercerita, saat apak bekerja dikebun orang, baru sehari bekerja apak sakit. TBC apak menjadi-jadi. Apak tidak sanggup bekerja namun apak juga tidak mampu untuk pulang kerumah menemui anak-anaknya tanpa membawa hasil dan dengan kondisi sakit. Akhirnya apak putuskan untuk menemui adik-adik apak dikota. Apak berharap mendapat bantuan dari mereka. Mungkin mereka sudah bosan dengan kehadiran apak. Kenyataannya, bukannya diterima dengan baik, apak justru dicaci maki. Apak jadi gelandangan di kota sampai akhirnya bisa pulang menemui kami lagi. Masih dalam kondisi sakit. Ya, apak masih sakit. Saat aku dipeluk apak, tubuh apak panas sekali dan batuknya tak henti-henti. Apalagi kalau malam tiba.
Menanggapi cerita apak, uni Lin justru teramat kecewa kenapa apak meninggalkan anak-anaknya selama itu tanpa ijin dan membiarkan anak-anaknya terlantar. Sehingga terpaksa uni harus melepaskan sekolahnya demi kelangsungan hidup adik-adiknya. Apak kembali terdiam, menangis.... ah, apak terlalu sering menangis. Lebih sering daripada anak-anaknya menangis.
Hari-hari selanjutnya, apak belum bisa bekerja. Sudah pasti uni Lin lah yang bekerja. Aku juga Bayu merawat apak dirumah yang tak bisa lagi beranjak dari tempat tidur. Semakin lama sakit apak justru kian menjadi. Dahak batuk yang dikeluarkan apak lebih sering cairan-cairan kental darah. Dan sekarang apak lebih sering marah. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya semasa sehat. Salah sedikit menuruti permintaanya, apak bisa membentak. Kata-katanya kasar. Dan apak jadi suka sekali makan. Sebentar-sebentar minta diambilkan makan. Padahal sudah tidak ada apa-apa didapur. Sepertinya apak juga telah pikun, setiap setengan jam habis diberi makan, apak mengeluh minta makan dan teriak-teriak mengatakan seharian belum dikasih makan. Terpaksa aku harus merebus singkong karet yang rasanya pahit untuk dimakan sekadar mengganjal perut apak yang selalu lapar.
Uni Lin sudah tidak tahan dengan keadaan apak. Uni tidak perduli dengan kondisi apak yang sakit. Ia marah. ”apak kenapa sekarang justru hidup membebani anak-anak apak. Kalau apak tidak mampu menafkahi anak, cukuplah diam dan jangan minta yang aneh-aneh. Kami sudah tidak sanggup lagi mengurus apak. Terserah apak mau apa kami tdak perduli. Aku sudah capek, Pak....!!!” kata-kata itu keluar dari bibir Uni Lin. Uni benar-benar marah dan kecewa. Mungkin juga marah dengan keadaan. Mendengar kata-kata uni Lin, apak yang belakangan ini sering marah jadi tersulut. ”O.., anak indak mengerti tata krama wa’ang! Lah jaleh apak cando iko sakiek. Wa’ang caci makiek pula. Kundik wa’ang!!!*” pertengkaran pun belanjut. Uni menumpahkan kekesalannya selama ini, sementara apak semakin sulit bisa dimengerti.
Hari selanjutnya, oleh uni, apak tidak boleh diberi makan. ”Runi, jangan kamu beri makan dan turuti apa mau apak. biar apak tau diri dan sadar!!!” aku tidak habis pikir kenapa uni jadi begitu tega terhadap apak. Sementara hampir setiap saat apak berteriak-teriak memanggilku, ”Runi...! Runi...! dimana kamu. Ambilkan apak makan...” aku tidak tega mendengarnya. Tapi memberi makan apak, aku takut dengan larangan Uni Lin. Lebih baik aku pergi bermain keluar, menjaga Bayu dan Mida.
Saat sore tiba kami baru pulang kerumah. Hari mulai gelap. Tapi kenapa rumah sepi dan lampu minyak belum dinyalakan. Arang ditungku masih menyala. Bisa untuk menghidupkan lampu minyak. Saat lampu menyala kulihat apak masih tertidur menghadap dinding papan yang rapuh. Serapuh tubuh apak yang kulihat. Bayu dan Mida duduk dikursi berpelukan. ”Pak, Apak, bangun pak. Sudah Maghrib.” Bayu dan Mida berlari mendekati apak dan mencium apak. Tapi tubuh apak dingin dan kaku. ”Pak....!!! Apa......k bangun....!!! Aku tidak tau apa yang terjadi. Aku hanya dapat berlari menuju rumah bu’de Wiwit meminta bantuan.
” Koe sabar yo, Nduk. Iki wes nasibmu. Do’akan saja bapakmu dialam sana tenang dan diterima Gusti Allah*.” bu’de Wiwit memelukku. Apak telah pergi. Ya, apak telah pergi menyusul ibu. Meninggalkan kami sendirian penuh kedukaan. Begitu juga Uni yang sore itu semakin meninggalkan kepedihan dan kesepian untukku juga Mida dan Bayu.
♠♠♠♠♠
Uni..., dimana uni sekarang...? Uni..., sudah lima tahun kepergian apak, juga sudah lima tahun uni pergi belum kembali kekampung. Taukah uni bahwa apak telah pergi menyusul ibu. Sekarang Runi sendiri tanpa saudara dikampung. Tinggal dengan bu’de Wiwit. Bayu dan Mida telah diambil pak cik* Masri, dikota. Uni... sekarang usia Runi sudah lima belas tahun, mungkin sekarang saatnya Runi mencari uni, juga Bayu dan Mida. Runi ingin kita bisa berkumpul seperti dulu kembali. Tuhan... maafkan segala dosaku. Mudahkan jalanku Ya... Tuhan.... Semoga Kau pertemukan aku kembali dengan mereka....
jkt, 29mei11
Teruntuk orang-orang yang selalu menjadi inspirasi dan motivasiq

Keterangan: ( * )
Bahasa Padang
- Apak : Bapak
-Uni : sebutan kakak perempuan
- Apak lah usaha, tapi memang indak ado hasilnyo, ya ba’ajuo lagi.... Coba wa’ang sendiri Lin, cari pinjaman pitih atau barei jo tetanggo sabalah : Bapak telah berusaha, tapi memang tidak ada hasinya, ya babaimana lagi. Coba kamu sendiri, Lin. Cari pinjaman uang atau beras sama tetangga dekat.
- O.., anak indak mengerti tata krama wa’ang! Lah jaleh apak cando iko sakiek. Wa’ang caci makiek pula. Kundik wa’ang!!! : O..., anak tidak mengerti sopan santun kamu, Sudah tau bapak sakit seperti ini. Kamu caci maki juga. Babi (maaf) kamu!
-pak cik : paman

Bahasa Jawa
- he, wong Sundang ora oleh melok-melok dolanan neng kene. Rono-rono ngadoh!:
he, orang Sundang ( singkatan: Sunda Padang) tidak boleh ikut-ikut bermain di sini. San-san pergi menjauh!
- Heh! Koe ngopo melok kerjo ndek kene? : Heh. Kamu kenapa ikut kerja disini
- Rono...! poko’e koe wong loro ora oleh melok kerjo nang ladangku, Ndang lungo!!! :
Sana....! pokoknya kamu berdua tidak boleh ikut kerja di ladangku, sana cepat Pergi!!!
- aku wes bilang sama bapakmu wingi, Har. Kata bapakmu boleh, kok: aku sudah ijin sama bapak kamu kemarin, Har. Kata bapakmu boleh kok.
- alah...! poko’e kowe, opo meneh wong edan iki, ojo neng kene meneh. Sampe nggak ndang lungo saiki juga, tak bogem kowe. Wani Opo!!! : Alah...! pokoknya kamu, apalgi orang gila ini, jangan ada disini lagi. Sampai tidak cepat pergi sekarang juga. Saya tinju kalian. Berani Apa!!!
- Koe sabar yo, Nduk. Iki wes nasibmu. Do’akan saja bapakmu dialam sana tenang dan diterima Gusti Allah : kamu saba ya, Nak. Ini sudah nasibmu. Do’akan saja bapakmu tenang dan diterima Allah.

by: asamardi

Cerpen, Mendung di mata Aini

”Brak!” Tas ransel yang dilemparkan itu jatuh dihadapan Aini, setelah sebelumnya tepat mengenai kepalanya. ”Cepat pergi kamu dari sini sekarang juga!” ”Cepat! Sebelum aku benar-benar melemparkanmu keluar!” Suara wanita itu semakin meninggi. Aini tak dapat lagi menahan dirinya untuk tetap berada dirumah itu, ia harus pergi malam itu juga. Ia harus benar-benar pergi meninggalkan rumah yang telah sedikit menghibur hari-harinya hampir dua tahun belakangan ini. Setelah sebelumnya ia harus kehilangan seluruh keluarga, orang-orang yang ia kenal akibat bencana itu, bencana yang telah memberangus habis seluruh harapannya. Harapan yang tinggal menyisakan perih didadanya. Melihat masa depannya yang hancur luluhlantak, seluluhlantak bumi yang ia pijak, yang telah membawa serta keluarga yang teramat ia cintai ke alam yang tak akan pernah membawa mereka kembali lagi. Tinggal ia sendiri.
Hingga harapan itu datang. Harapan akan masa depan yang lebih baik. Setidaknya setelah ia tak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Meski ia tau, harapan itu tetap tak dapat mengobati luka hatinya. Ia kembali sadar bahwa apa yang telah terenggut darinya adalah takdir atas hidupnya. Ia tau ini kehendak dan kuasa-Nya. Dan ia tak sendiri. Banyak manusia yang mengalami nasib sepertinya. Ini menjadikannya lebih kuat. Kekuatan yang pula ia bangun atas penerimaan yang baik dari orang tua barunya. Lelaki yang harus ia sebut papa, telah mampu menggantikan posisi ayah dalam dirinya, beliau begitu bijak, begitu arif layaknya seorang ayah dalam memberikan nasehat dan pandangan hidup yang telah ia jalani. Banyak waktu yang Aini habiskan dengan Ayah barunya, untuk bercerita dan melabuhkan luka hatinya yang belum jua sembuh.
Hingga tanpa Aini sadari, hari-hari yang ia lewatkan di rumah itu, telah menciptakan kecemburuan pada wanita yang juga harus disebutnya mama. Wanita yang awalnya begitu lembut dan menyayanginya. Yang kemudian berubah tanpa Aini bisa pahami dan sulit untuk ia selami.
Entah kecemburuan macam apa. Kecemburuan karena kasih suaminya yang harus terbagi untuk Aini, sebagai anak dan bagian baru baginya. Yang mungkin mengurangi kasih suaminya yang awalnya utuh hanya untuk istrinya. Atau kecemburuan macam istri yang melihat suaminya seolah berbagi kasih dengan wanita lain. Entahlah, Aini tak cukup memahami.
Sampai tiba malam itu, ketika hanya ada ia dan wanita itu dirumah, wanita yang sudah berusaha ia cintai seperti ibunya, berteriak-teriak mengusirnya atas sebab yang ia tak pahami. ”Kesabaranku sudah habis, jangan sisakan sedikitpun barang-barangmu dirumah ini. Kurang ajar! Tidak tau balas budi! Pergi! Sudah ditolong, justru mau merebut suami orang.....” Blar! Suara itu terdengar bagai bom yang memekakkan ditelinga Aini, menciptakan ledakan-ledakan tak terkira ditiap kisi hatinya. Tuhan..., Kenapa dengan wanita lembut ini? Aku seolah tak mengenalinya lagi, kenapa ia berubah sekasar ini? Jadi sikapnya berubah selama ini karena ia cemburu padaku? Tidak! Mengapa ia selama ini tak pernah mengenalku secara utuh. Sampai sebegitu teganya ia menuduhku seperti itu. aku tidak mungkin tega berbuat seperti itu, pada orang tua yang kini sudah teramat aku cintai seperti orang tuaku sendiri! Bantah Aini dalam hati.
Aini sadar, ia bukan anak mereka, apalagi ia dipertemukan mereka saat usianya sudah lima belas tahun. Usia yang mungkin pantas untuk dicemburui bagi seorang wanita. Tapi tidak bagi Aini, sebab dalam hatinya telah tertanam tulus cinta layaknya anak untuk mereka. Bukan kondisi seperti ini yang Aini harapkan. Namun Apabila harus ada pikiran buruk yang tertanam di hati wanita itu, Aini tak akan bisa mencegahnya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya dan tak ada derai air mata yang keluar dari matanya untuk mengiringi kepergiannya malam itu. Bukankah itu tidak terlalu menyakitkan bila dibandingkan saat ia harus kehilangan keluarganya setahun yang lalu. Toh sebelumnyapun ia tak mempunyai siap-siapa. Meski dulu, bukan ia yang meminta untuk menjadi salah satu bagian dari mereka, sebagai anak yang mereka idamkan atas ketidak mampuan mereka untuk melahirkan anak sendiri. Atau mungkin sebagai rasa iba atas ribuan anak yang mengalami nasib sepertinya. Aini telah benar-benar tak mengerti. Kini ia pergi. Meski tak tau kemana ia harus melangkahkan kaki.

♣♣♣♣♣

Dingin udara pagi buta terasa menusuk kulit. Menciptakan ngilu di persendian. Terlebih bagi manusia-manusia jalanan yang hanya mampu menciptakan mimpi malam pada emperan-emperan toko, kolong-kolong jembatan. Aini bergegas bangun dari tidurnya. Ia harus segera menyiapkan sarapan pagi juga menyiapkan air panas untuk mandi, sebelum tuan-tuan rumahnya berangkat beraktivitas. Baru setelah itu ia melakukan pekerjaan rumah lainnya. Ya, telah satu minggu Aini tinggal pada sebuah keluarga. Ia tinggal bersama mereka, tentu bukan berstatus sebagai anak seperti ketika pertama kali ia menjejakkan kakinya di tanah ini, tapi sebagai seorang pembantu. Tak apa bagi Aini. Lagipula apalagi status yang pantas bagiku setelah aku sendirian di dunia ini. Pasarah Aini.
Tapi ternyata hidup memang terlalu mengujinya. Kembali ia berada pada tempat yang mengharuskannya kuat menjalani hidup ini. Beberapa lama ia tinggal disana, telah terlalu sering ia diperlakukan kurang sopan oleh putra-putra tuannya.
Peristiwa itu kembali menyeruak semua luka lamanya, ketika luka itu telah mampu ia kubur utuh. Saat ia membersihkan kamar salah satu putra tuannya. Ternyata laki-laki muda itu menjebaknya. Aini berontak sekuat tenaga berusaha keluar dari kamar itu. Namun, seluruh teriakan dan kekuatan yang ia miliki tak mampu membuatnya bebas. Hanya ada ribuan doa dan pasrah yang bisa ia lakukan. Hingga keajaiban itu datang berpihak padanya. Keajaiban dari-Nya yang tak pernah Aini dapat mengira. Pintu kamar diketuk ketika laki-laki biadab itu hendak mengoyak harga dirinya. ”Cepat masuk kamar mandi dan jangan beritindak macam-macam jika kamu ingin nyawamu selamat!” Ucap laki-laki itu mengancam sekenanya. Aini segera menyambar pakaiannya dan berlari kekamar mandi sementara pintu terus diketuk. ”Tonny..., lama sekali kamu didalam. Ayo buka pintunya!” Ternyata ibu lelaki biadab itu. ”Iya, Mam, sebentar” Grek! Pintu terbuka. ” Ada apa, Mam?” ”Kamu tau Aini kemana, Ton? Mama cari di kamar, di dapur nggak ada. Mama mau menyuruhnya.” Dalam benak laki-laki muda itu berpikir keras. Di kamar mandi, Aini mencoba menenangkan nafasnya yang tersengal. Namun ia masih mendengar percakapan itu dengan jelas, hingga memunculkan ide. Ia segera menyikat lantai kamar mandi yang menimbulkan suara gesekan-gesekan lantai disikat. ”O, i...itu Aini, Mam. Dia lagi nyikat lantai kamar mandi Tonny!” jawab laki-laki muda itu sekenanya. Bergetar Aini Melongokkan wajahnya. ”Iya, Bu. Saya sedang membersihkan kamar mandi disini. Maaf, apa Ibu memanggil saya?” Aini segera keluar dari kamar mandi dengan menahan dada yang bergemuruh.” Entah apa yang ada dibenak wanita tua itu, yang jelas Aini justru berharap wanita itu tak mengetahui kejadian sebenarnya. Walau ia sangat bersyukur atas pertolongan yang tanpa disadari wanita tua itu. ”Aini, tolong kamu keluar rumah dulu, belikan saya cat rambut seperti biasanya, ya!” pinta wanita itu. ”Baik, Bu.” Aini bergegas keluar dari kamar itu, ia berlari menuruni tangga dengan beribu sesak yang menjejali dada dan pikirannya. Rupanya wanita tua itu benar-benar tak mengetahui kejadian sebenarnya didalam kamar anaknya.
Ya, aku harus keluar dari rumah ini! seperti pinta wanita itu. Tapi tidak untuk kembali lagi. Aku harus benar-benar pergi dari rumah ini. Aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku bila aku masih bertahan disini! Terima kasih ya Tuhan, Ternyata Kau masih menyayangiku... ucap batin Aini. Meski ia sendiri tak dapat memastikan apakah di luar sana kehidupannya akan jauh lebih baik. Ia pergi tanpa seorangpun tau. Kembali, untuk kesekian kalinya, Aini berkelana membawa luka hatinya.

♣♣♣♣♣

Langit sore kian gelap. Awan hitam berarak memayungi bumi. Menyisakan kepekatan didalamnya yang siap menjatuhkan panah-panah cair membasahi bumi. Aini terus berjalan dalam gamang. Sepasang matanya menatap kosong, sekosong akan harapan yang ia tapaki. Tak tau kemana ia harus pergi. Telah ribuan kali ia mengadu. Mengadu pada pohon, pada sungai, pada jalan, pada alam yang telah sekian lama menemaninya di jalalan. Namun ia tak pernah tau jawabnya. Sebab ia masih terus berjalan tanpa tau kemana ia harus pergi, sementara kepercayaanya pada setiap orang telah demikian terkikis. Mungkin ia harus terus berjalan hingga suatu saat ia akan menemukan tempat terbaik untuknya.
Dunia jalanan telah ia lalui bermalam-malam. Dunia baru yang mulai ia akrapi dan mengajarkannya banyak hal akan keras dan kotornya hidup. Dunia yang mungkin tercipta hanya untuk orang-orang sepertinya. Yang mengubah pola pikirnya tentang mahalnya kesucian dan harga diri yang tak lagi bergema disitu. Yang kerap diperjualbelikan demi sesuap nasi. Hingga membawanya ke relung pasrah bila kemudian ia menjadi bagian dalam dunia keras dan kotor itu. Sesuatu yang ia hinakan dulu, dulu sekali, ketika ia masih utuh bersama keluarganya. Yang kian lama runtuh terkikis bersama waktu-waktu dan kenyataan yang ia jalani. Bahkan hanya dunia itu yang mampu menerimanya ketika ia terdampar dalam ketidakberdayaan. Dengan seperti itu maka tak ada lagi kesedihan baginya, sebab kesedihan itu sendiri adalah bagian dari dirinya kini. Ya, benar, apabila sesuatu rasa telah menyatu pada hati seseorang, terkadang ia tak dapat lagi merasakan rasa itu.
Pun tak ada lagi kesedihan dalam dirinya atas peristiwa malam itu. Peristiwa besar yang seharusnya mengguncang batinnya, bahkan batin setiap gadis yang kehilangan sesuatu yang ia banggakan, namun harus terenggut paksa. Ketika semua insan terlelap dalam buai malam, dirinya terkoyak-koyak oleh preman-preman jalanan budak alkohol itu. Mereka, manusia-manusia jalanan yang melihat peristiwa itu seolah tak melihat apa-apa dan membiarkan itu terjadi begitu saja. Mungkin itu peristiwa biasa dibenak mereka. Peristiwa itu justru seolah seperti prosesi upacara khusus untuk Aini, sebagai tanda untuk menjadi bagian dari mereka, manusia-manusia jalanan. Yang nyaris setiap penghuninya tak memiliki kebanggaan apapun pada dirinya, kecuali kehinaan.
Ia tak harus menjadi dirinya yang dulu, sebab dunianya telah berbeda. Aini yakin, ini takdirnya tanpa ia sendiri mampu menolaknya. Dan ia pun tak pernah hendak mencoba kembali seperti masa yang ia jalani sebelumnya. Masa-masa ketika ia menjadi anak angkat, atau sekedar pembantu. Yang keduanya jauh lebih terhormat dari masa yang justru sedang ia jalani kini. Namun baginya sama saja, sama-sama menorehkan luka dihatinya. Justru hari-hari yang terus Aini jalani dijalanan semakin ia nikmati. Ia telah semakin terbiasa dengan kelaparan dan dinginnya malam. Dengan kerasnya hidup.
Sampai suatu malam, di sudut pasar yang kumuh dan bau, dalam dinginnya malam, tubuhnya mengigil hebat, dengan bibir yang membiru. Ternyata ia harus kalah dengan keadaan. Ia Sakit. Tubuhnya terkulai pingsan tak berdaya.

♣♣♣♣♣

Aini tersenyum sangat bahagia. akhirnya ia bisa bersatu dan melihat keluarganya yang utuh. Bunda, Ayah, juga kakak dan adik-adiknya. Mereka semua begitu dekat dan menatap lekat-lekat Aini. Aini tersenyum dalam kerinduan yang luar biasa. Namun saat ia ingin berlari memeluk, seolah ia terpasung. Ia berusaha sekuat tenaga berontak. Dan itu justru menyebabkan bumi yang ia pijak runtuh dan menghempaskannya jauh ke alam yang kembali membuatnya sendiri. Ia kembali ke alam sadar. Aini membuka mata, ia berbaring diatas dipan ”dimana aku?” ”Tenang sayang..., kamu ada dirumah tante. Sudah siuman rupanya kamu.” Seorang wanita cantik setengah baya dengan dandanan menor sudah ada dihadapannya. ”minumlah air hangat ini, sudah berjam-jam kamu tak sadarkan diri.” Wanita itu menyodorkan air hangat ke mulut Aini yang masih lemah. Aini ingat, ia pingsan setelah sakit luar biasa yang ia rasakan malam itu. ”terima kasih. Nyonya telah menyelamatkan saya. Saya tidak tau bagaimana harus membalas budi baik Nyonya” ”Eit, panggil saja saya tante. Kamu tidak perlu sungkan-sungkan ya! Dan ingat kamu tidak perlu balas budi. Kamu sangat cantik, terlalu sayang jika kamu berada dijalanan. justru tante akan membuat hidupmu lebih bahagia, Cantik!” Wanita genit berpakaian seksi namun menyimpan banyak lemak dilipatan tubuhnya itu tersenyum. Senyum liar yang mengerikan.
♣♣♣♣♣

Suara bingar musik diiringi kerlap lampu khas diskotik memenuhi ruangan yang penuh di hinggapi manusia-manusia yang mencari kesenangan malam. Bau sengak minuman keras dan asap rokok terasa biasa bagi penghuni-penghuninya. Mereka yang muda, energik menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti hentakan musik. Di beberapa sisi ruangan, tampak wanita-wanita seksi penggoda pria-pria hidung belang. Lelaki tua namun sok bergaya muda dan perlente duduk dengan bangganya bermesraan dengan gadis cantik belasan yang baru dua minggu ini ia kenal. Seorang gadis yang mencoba melupakan masa kelamnya, dengan kegembiraan palsu dan senyum gincu.

asamardi
jkt, 25 mei, 11
Teruntuk org2 yg menginspirasiku.., thanks silla.
love u mom khunaina

Cerpen ABG, Pertemuan Yang Mengesankan

“Namanya Rio, Swear Cit, dia cakep banget…,”
“dari mana loe tahu dia cakep, ketemu aja belom, dari fotonya? hati-hati deh loe, Ris, foto bisa menipu lho..,”
“Gue liat bukan cuma fotonya, Cit, dia tunjukin wajah dia via webcam, senyumnya Cit…, kagak nahan!,”
Risa beraapi-api cerita tentang gebetan barunya yang ia kenal via chatting.
“Tapi bukan itu yang bikin gue seneng, dia itu perhatian banget, saban hari ada aja email dan pesan di yahoo messenger dari dia buat gue, gue ngerasa diperhatiin banget, kita sering telpon-telponan, dia enak banget diajak ngobrol, nggak kayak Dana, dana pacar gue, tapi dia cuek banget, nggak pernah ada perhatian-perhatiannya buat gue, yang ada ribut mulu, lama-lama gue tinggalin tuh anak.” Risa mulai emosi kalau udah cerita soal dana, pacar satu sekolahnya.
“loe hati-hati, deh, Ris, jangan asal putus aja, Dana itu dah baek, cakep, pinter, ketua OSIS, apa lagi yang kurang dari dia. Kalo cowok yang loe kenal via chatting itu kan loe belum tahu pastinya.” Citra khawatir dengan tindakan Risa yang suka gegabah itu. Pasalnya dulu juga Risa pernah kejadian dan ketipu abis-abisan dengan cowok yang ia kenal via chatting. Karena ternyata tuh cowok ancur banget.
“ Kali ini nggak akan ketipu lagi deh, Cit, lagian tadi siang, gue emang udah bubaran ama Dana, Dana emang baek, cakep, seperti yang elo bilang, tapi dia masih seperti anak kecil, nggak ada perhatiannnya, sibuk ama kegiatan sekolah mulu, gue nggak butuh yang kayak gitu, gue butuh cowok yang dewasa, dan ternyata gayung bersambut, kak Rio juga nggak kalah cakep n kerennya ama Dana, dia anak kampus Mustopo. Minggu ini kita mau ketemuan,” Risa semakin berbinar-binar menceritakan semua ini ke sahabatnya. Yang di seberang telepon sana Cuma melongo demi mendengar penjelasan sahabatnya.
“ya udah Ris, terserah elo. Gimana-gimana keputusan tetep ada di pihak elo, pesen gue buat elo, sahabat yang gue sayangi, loe musti hati-hati. Oke honey!” Citra Mencoba menasehati Risa.
“Oke De, kakak… ntar gue kabari lagi ya… gue mau mandi dulu udah sore, bye..,”
“Iya, Bye.” Klik, sambungan seluler itu terputus.
Ada dua sms masuk. Pertama dari Dana.
“Ris, maafin gue kalo gue selama ini salah dan kurang perhatiin elo, loe pacar pertama gue, gue emang harus belajar mengerti elo, khusunya mengerti perempuan, gue nyesel, gue minta maaf. Gue bener-bener sayang elo, gue janji akan berubah, Ris…” Sms dari Dana, tapi risa sedang tidak ingin membalsnya. Sms terakhir dari Kak Rio,”Malam Risa… udah malam, istirahat gih, jagan sampe kelelahan. Tadi siang di sekolah pasti banyak kegiatan. capek banget ya…?, tuh kan keliatan, dari idung n jempol kakinya yang merah-merah, met bobo ya…” Risa tersenyum membaca sms itu, kak Rio emang selalu kasih perhatian-perhaian kecil yang hangat, beda dengan dana, mana bisa dana kasih perhatian seromantis itu, batin Risa.

xxx

Selanjutnya, dari hari ke hari, Risa semakin menyukai lelaki yang biasa ia panggil kak Rio. Ia semakin terbuai dengan sms-sms, email-email bentuk perhatian dari kak Rio, ia juga suka dengan candaan-candaan kak Rio dalam telepon. Sebelum tidur Risa membayangkan pertemuan yang akan terjadi dengan kak Rio. Sudah dua bulan ia kenal dengan lelaki itu lewat dunia maya, Risa sudah merasa cukup mengetahui pribadi dan fisik lelaki itu. Ia sempat membuka efbe kak Rio, di public photonya ia melihat foto-foto pria itu, wajahnya putih bersih, senyumnya manis, badannya atletis. Rambutnya yang keriting dibiarkan panjang membuat tampangnya menjadi perpaduan antar Zac Effron dan Revaldo. Kak Rio juga belum punya pacar, itu terlihat dari comment-coment teman-temannya di efbe, ada yang kasih comment “Ri, elo itu cakep,baek, tapi nape ya nggak ada cewek atu aja yang nyantol ma loe, wakakakakakak,” ada lagi,
“yo, elo kapan dong pecahin jomblo forever loe, jangan pilih-pilih cewek dong… apa-jangan-jangan cewek-cewek aja yang sulit pilih loe, abis loe telalu cakep sih… hahahahahah.” Coment teman-temannya emang suka aneh-aneh, tapi kesimpulan Risa tentang kak Rio, dia belum punya pacar. Ini kesempatan buat aku, pikir Risa. Mungkin kak Rio cari cewek yang kayak aku, jawab Risa sendiri dalam hati. Narsis. Risa juga sempat liat video kak Rio via webcam, kurang lebih satu menit, setelah itu putus, kata kak rio webcam di laptopnya emang rada-rada eror, kalo digunain nggak lebih dari satu menit mati sendiri. Tapi itu sudah mebuat Risa yakin. Nggak ada yang harus diraguin lagi.
Dari pembicaraannya dalam telefon kak Rio terkesan Dewasa. Lelaki yang seperti itu yang Risa cari. Risa memang merasa butuh figure lelaki dewasa buat berbagi, setelah belakangan ayahnya bekerja di luar kota dan kak Dani kuliah di Jogja, keduanya jarang pulang. Dan mungkin kak Rio bisa menggantikannya, fikir Risa. Tidak ada yang bisa diragukan fikirannya lagi tentang kak Rio. Dalam setiap email, sms dan chattingnya, Kak rio begitu perhatian padanya. Risa yakin kak Rio suka padanya. Aku mau punya cowok yang dewasa juga cakep, seperti mama yang bersuamikan papa. Kemudian Risa tertidu lelap berssama mimpi indanhya, terbang bersama kak Rio, seperti adegan dalam film Spiderman, juga seolah terbang di ujung kapal, seperti adegan dalm Film Titanic, Risa berkelana dalam mimpinya, dengan laki-laki yang mampu membuatnya begitu tersenyum indah sebelum tidur, dengan lelaki yang mampu membuatnya merasa diperhatikan saat menerima sms dan email darinya. Lelaki yang mampu membuatnya berbedar hebat saat melihat senyum dan tawanya, yang ia sempat lia via webcam itu, meski hanya satu menit. bersama lelaki iu, lelaki yang belum prnah ia temui dan sebentar lagi akan menemuinya di suatu tempat. Risa sudah hampir melupakan Dana, Dana yang pacar satu sekolahnya yang kini telah diputuskannya. Dana yang masih saja terus memohon maaf pada Risa. Dana yang juga dulu sempat membuatnya berdebar, Dana yang dulu begitu dikaguminya, juga mungkin teman-teman sekolahnya yang masih terus mengaguminya. Tapi saat ini tidak lagi bagi Risa. Dana terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan Osis yang menjadi tanggung jawabnya Dana Baik, tapi ada kak Rio yang lebih baik. Pikir Risa. Ia telah benar-bebar menyukai kak Rio, yang seharipun tak pernah absent memberinya sms sekedar perhatian-perhatian kecil. Yang membuat Risa Tak Habis pikir, mengapa ada pria dewasa, secakep dan sebaik itu padanya.

xxx

Minggu pagi, didalam kamar. Sudah sepuluh kali Risa berganti pakaian dan sudah berpuluh-puluh kali Risa mematut diri di depan cermin kamarnya, kalau saja cermin itu bisa ngomong, mungkin ia sudah protes kesal atau mungkin justru tertawa terbahak-bahak melihat ulah Risa yang sedang bingung memilih pakaian mana yang akan ia kenakan sore ini. Ya, sore ini adalah pertemuannya dengan kak Rio yang sudah ia nanti-nantikan sejak lama. Gue harus berpenampilan serapi dan secantik mungkin, biar tampang gue yang imut ini jadi semakin imut, kayak tweety, biar senyum gue yang manis ini jadi semakin manis kayak candy, biar mata gue yang indah ini jadi semakin indah, kayak bulan, batin Risa. Pokoknya sore ini jadi ajang narsis bagi Risa. Ia nggak mau kelihatan jelek sama sekali, biar gue jadi semakin serasi dengan kak Rio yang super duper cakep itu, biar kak Rio yang dewasa dan perhatian itu jadi semakin romantis di pertemuan perdananya ini. Pokoknya segala sesuatunya sudah Risa persiapkan dengan matang. Bibirnya tersenyum-senyum akan pertemuan yang ia bayangkan bakal manis nanti.
Sorenya, Risa masih saja berlama-lama dandan dan mematut diri di depan cermin, panggilan masuk dari Citra diabaikannya. Padahal ia sudah janji menjemput Citra untuk minta ditemani menemui calon pangeran barunya itu. Sampai panggilan entah ke berapa belas kali baru diangkatnya, “loe kemana aja, sih, Ris. Pasti loe kelamaan dandan. jadi minta anterin nggak? Udah jam berapa nih?” Citra langsung memberondong Risa, begitu panggilan masuk itu diterima tanpa sempet Risa menjawab, namun sejurus kemudian, “ aduh Cit, gue bingung nih, harusnya tadi loe yang kesini buat liat gue pantesnya pake baju yang mana…! Gue jadi takut berlebihan, bisa-bisa, tuh, kakak yang ada ilfil sama gue…”
“ya udahlah, nyantai aja. Lagian kalau elo tanya fashion jangan sama gue, sama nona Igun aja atau sama om Robbi aja di Indosiar, Loe tanya sama gue jadinya malah kayak mau kondangan nanti, lagian bukannya kak Rio loe itu kata loe suka loe apa adanya, udah ya, gue tunggu sampai jam empat, kalau elo belum dating juga, bisa-bisa gue ngambek nih,” rentet Citra.
“ iya-iya!, ya udah tunggu, bentar lagi gue tempat loe,” akhirnya Risa pasrah juga, ia segera menyambar tasnya dan menghambur ke rumah Citra yang hanya berselang beberapa rumah dari rumahnya. Setelah sebelumnya ia berpamitan pada mama yang hanya terbengong-bengong melihat ulah putri satu-satunya itu. Mamanya tidak melarang setelah mengetahui Risa pergi dengan Citra. Biasanya mama memang memberikan kebebasan khusus pada Risa untuk pergi hang out bareng temen-temennya minggu sore.
xxx

sudah jam setengah lima lewat ketika mereka berdua sampai di mall tempat Risa dan kak Rio janji buat ketemuan. Itu berarti sudah lewat beberapa menit dari jam yang mereka berdua tentukan, jam setengah lima. Aneh, dari pagi kak Rio Cuma sms satu kali saja, itupun untuk memastikan jam bertemunya mereka berdua. Nggak seperti biasanya, kak Rio bisa sms atau telepon berkali-kali, pikir Risa. Ah, mungkin kak Rio mau bikin kejutan untuknya, pikir Risa.
“Cit, kita langsung ke Solaria, ya, kemarin kita janjiannya di situ, jangan-jangan tampangnya yang cakep jadi garing kayak kerupuk udah nunggu kita lama,” Risa langsung menarik tangan Citra, tanpa Citra sempat menjawab.
Sampai di sana, Risa celingak-celinguk melihat penghuni-penghuni mejanya yang ternyata tak ada tampang kiut sang pangeran pujaannya itu.
“mana Ris, ada nggak sang pangeran cakep loe itu,”
“Duh kayaknya nggak ada deh, Cit.”
Pastiin yang bener ada nggak, dia janjinya pake baju apa, atau loe telfon, gih, kan loe jadi tahu dimana do’i” saran Citra.
“pake baju merah, nggak ada, Cit, beneran. Oke, deh, gue telefon, lagian dari tadi juga dia belum telefon gue, nggak kayak biasanya.”
Risa segera menelefon nomor yang dituju.
Terdengar telefon di jawab, “halo, kak Rio, udah dimana, nih? O, udah diparkiran, sepuluh menit lagi, oke aku tunggu,” Risa memutuskan sambungan telefonnya.
Mereka berdua segera mengambil meja di salah satu ujung ruangan sambil ngobrol. Risa segera merapikan rambut dan bajunya.
“Cit, udah mau sepuluh menit ya, gue deg-degan, nih, udah nggak sabar liat tampangnya…,” Risa mengoyang-goyangkan jempol kakinya demi menghilangkan nervous.
“biasa aja kali, non. Gue sebenernya malah kasian sama Dana, dia bukannya udah berkali-kali minta maaf sama loe, loe yang pasti-pasti ajalah, jangan sama orang nggak jelas gini, gue, sih, tetep aja nggak yakin sama orang yng ngajak ketemuan lewat chattin, banyak nggak benernya daripada benernya.”
“tunggu beberapa menit lagi ya, say. Elo bakal liat nggak ada yang salah kali ini, sebelum ketemuan gue udah pastiin, kok, yah, setidaknya dia normal kayak orang kebanyakan, nggak buta, nggak bisu, nggak cacat fisik atau apalah…”
Tiba-tiba yang ditunggu dating juga. Seperti yang dibayangkan, seorang pria berbaju merah, berbadan atletis, berenyum manis, berbadan putih bersih, berambut keriting panjang sebahu. Pria itu, segera menyalami Risa dan Citra. Ya, tak ada yang salah dengan ciri-ciri pria seperti yang Risa sering sebutkan pada Citra, hanya saja, ada sedikit ciri-ciri yang kurang yang Risa belum sebtukan dan tak risa ketahui sebelumnya. Dan itu membuat Risa dan Citra melongo saat melihatnya. Ternyata pria tersebut punya kebisaan ajaib dari reflek otot lehernya yang tak terkontrol oleh perintah system otaknya, yang mebuat leher dan kepala menengok kek kiri dan bergoyang cepat sepeerti bergeleng berkali-kali sehingga membuat ia tampak aneh, terlebih dengan rambut keriting keriwilnya itu, goyangan kepalanya jadi telihat heboh. Seperti robot gedek. terlebih saat ia sedang nervous, kebiasaan itu akan semakin terlihat dan sering muncul, kebiasaan yang luput dari pengamatan Risa sebelumnya.
Oh, God, teriak batin Risa. Ia tak tahu lagi mesti berbuat apa di situ. Kak Rio yang melihat tingkah Risa jadi merasa serba salah, ia jadi semakin nervous dan semakin sering mengucapkan kata-kata maaf didepan Risa dan Citra. Sehingga imej seorang laki-laki dewasa dan perhatian, seperti yang Risa tahu pada kak Rio jadi hilang seketika.karena laki-laki itu jadi sering mengeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, seperti bergetar. Saat-saat seperti ini, ia jadi merasa bersalah pada Dana. Mungkin gue kualat sudah mengabaikan dan membiarkan Dana yang berkali-kali meminta maaf sama gue, batin Risa.Dana jadi terasa begitu berharga baginya saat ini.
Usai pertemuan itu, sudah pasri Citra menggoda Risa habis-habisan. “hahahahaah, apa kata gue, Ris. Ketemuan sama orang lewat dunia maya itu banyakan kecewanya daripada senengnya, elo, sih, kagak percayaan, dulu-dulu kan elo pernah ngalamin, pake diulangin lagi, bla-bla bla-bla….. “
Yang digoda hanya tersenyum-senyum malu. Tapi yang jelas setelah itu Risa jadi kapok ketemuan sama orang lewat dunia maya, dan kini ia ingin segera menelepon Dana, meminta maaf atas keegoisannya selama ini.
namun beberapa saat sebelum ia menekan tombol panggil di hape-nya, ia melihat seorang yang tak asing lagi sedang melintas dihadapannya sedang bergandengan mesra dengan wanita yang tak ia kenali, Sesosok Dana, Oh No....!


by: asamardi
teruntuk org2 yg kusayang...

Selasa, 06 Maret 2012

mengubah cara fikirq dari suamiq, dari fenomena bangsa ini...

Belanja adalah hal yg mnyenangkan utkq n suami disaat weekend,
seperti minggu ini, biasanya blnja keperluan makan sehari2 selama satu minggu ke depan, kalo sdh blnja, aq n abang sering sm2 lupa, n trs membeli sgala hal yg mbuat kami tertarik utk memasaknya, maklum ibu2 baru n bp2 baru, jd excited klo liat produk2 fresh di pasar, seperti baru metik, mulai dari buah, sayuran, daging2 segar.. kadang smp luber isi kulkas.. hmm pemborosan,

tp aq jg sering membagikan separuh dari hasil blnja ke tetangga2 agr mreka jg ikut merasakan, dagangan segar dri pasar yg pasti rasanya beda dibandingkan bila produk trsbt hasil inapan,

sepulang dari belanja, kali ini agak siang... bbrp lapak pedagang sayur dan buah sdh mulai bongkar utk ditutup, ada bbrp yg sdh ditinggalkan,

hanya ada tumpukan sampah dr sisa2 lapak itu, yg nanti akan diangkut oleh pkerja pasar yg biasa membersihkan,

melewati bbrp lapak yh sdh tutup aq terheran2, ada bbrp lapak buah yg sengaja meninggalkan buahnya ditinggalkan bgitu saja, seperti dibuang di lantai, di dlm plastik dsb, dan buahnya msh terlihat baik,
mubajir skali pikirku, ada jg bbrp sayuran yg tersisa tak dijual dibiarkan pulang bgitu sj,

dlm hati aq lg2 bergumam, knp mreka buang2 bgitu sj, mubajir skali, jd busuk lama2 kan....

aq nyeletuk aja ke abang,

"bang, itu kok dibuang2 buah n sayuran bgitu aja berserakan sich bang,
mubajir, kan sayang jd busuk, knp gak di bw pulang aja, tuh ada pisang 1 sisir, mubajir, ambil gih bang, bs buat hofni, tetangga kita"

si abang tampak tersenyum, melihat sejenak ke onggokan buah trsbt,
" dek sayang.... jangan ha, itu sepertinya memang sengaja ditinggalkan oleh pedagannya, utk diberikan ato diambil oleh pemulung sampah yg biasanya lewat disini, atau mgkn sj utk para pekerja pengangkut smpah yg sengaja disisakan oleh pedagang agr diambil mreka, mgkn mreka, para pedagang itu mw berbagi, mreka lbh berhak, kalo qt kan msh mmpu utk membeli, kalo dek mw kasih hofni, qt beli sj bs, ok2?"
senyumnya terkembang..

towew towew.... aq terhenyak, malu skali sm suamiku ini, bener jg yach... knp aq gak kepikir sejauh itu....
klo seandainya aq tahu, aq gk akan brani bvertindak demikian, yg aq pikir justru sayang buah2 itu dibuang n mubajir.. aq ingin berikan ke hofni yg jg membutuhkan jg sich sbnrnya.. jd gak mubajir, tp pemikiran si abang lbh matang n brilliant, aq jd malu...

aq jd teringat...
bbrp waktu lalu, stlh pulang dari pasar, aq hendak masak kepitng saus tiram hasil dri blnjaan pagi itu, kepiting tersebut berukuran sedang cenderung agak kurus2,
aq sengaja masak dgn jumlah yg agak bnyk, cukup utk 3 kpala kluarga, krn sengaja akan aq bagikan ke 2 ttanggaku, seperti mreka jg sering membagi makanan kpd kami...

si abang cm senyum2 aja melihat hasil masaknq bgitu bnyk,
"kok senyum sich bang, tahu gak, ini mw asa bagikan ke tetangga2, jd tenang aja, pasti habis,"

"apa mw dibagikan? jgn dek, itu kepiting kurus2 n kecil, klo mw bagi ke tetangga, besok qt beli lg yg besar2 ya.. gak enak bagi2nya klo kepiting kcil2 bgini, besok kita beli lg yaa, baru qt bagi2,"

"haduh bang, ini udah di masak bnyk bgt, gmn sich, nanti gk habs klo di makan bdua aja"

"yahhh, dek, knp gak bilan sich tadi, bner dek, mnurut abg itu kepiting kurus2, qt hrs memuliakan tetangga, bagilah, makanan yg terbaik yg qt punya, klo mw bgi masakan apapun, hrs yg terbaik, itu kepitingnya kecil n kurus2, jgn yach ,sayang..."

hmmm, aq cm terdiam, ya okslah, krn suami sdh melarang, aq nurut aja, abang emang pemikirannya sll diluar dugaan, atw aq sj yg terlallu lugu, tp aq hrs mulai lbh deewasa blajar mengenai abang n blajar memuliakan tetangga, xixixix, blajar lbh arif n dewasa,

iyalh gpp, akhirnya kepiting itu kami gado berdua sambil senyum2,
gak habis jg sich krn buanyak bgt,
besokny kebuang, krn abg emang gak akn pernah mw makan masakan sisa kmrn, apa yg dia makan hrs fresh from the oven. gak suka masakan angetan kmrn,
suamiku sedikit rewel soal makanan, tp positif aja, itu artinya seluruh asupan ke tubuhnya adlh makanan fresh, tubuhnya sehat, perutnya gak kotor, pantes badannya gak kyk cowok pd umumnya, bersih n gak bau, :)

besoknya emang beneran sich qt blnja lg, tp bukan kepiting, tp ikan cakalang yg besarnya 1 kg perbuah, qt beli 5 buah di pelelangan tepi pantai pasar hamadi,
2 buah di bagi ke tetangga sebelah kiri rumah, tetangga kanan tdk dibagi, krn sedang tidak stay dirmah,

hmmm, kembali mengingat tragedi buah di pasar itu...

aq jd teringat mental bangsa indonesia,
pernah sekali melihat teelvisi, ada 1 mobil fuso jatuh terbalik di jalan raya dekat perkampungan warga, ternyata mobil tersebut membawa puluhan keranjang duku dari palembang, supir mobil dan kernetnya terluka cukup parah, seluruh warga kampung pinggir jalan tersebut berdatangan demi melihat kecelakaan trsbt,
tp apa yg etrjadi, mereka berduyun2 lari berebutan ramai skali menjarah buah duku yg berserakan di jalanan,
krn mobil fuso tentu buah yg diangkut sgt bnyk, sampai tmpt tersebut penuh dg lautan manusia berebut mengumpulkan buah duku tersebut. ada bbrp polisi yg datang mengamankan , tp penduduk yg sedang ramai menjarah trsebut sdh tak peduli dg peringatan polisi2 trsbt, polisi tak dpt berbuat bnyk, sementra pengemudi ditolong bbrp org yg pduli saja, sementra yg lain justru masih asyik berebut duku2 tsb, selang bbrp lama, mreka pulang ke rumah masing2 dg membawa duku2 tsb,

hmmmmm...
sungguh pemandangan yg sgt miris dari mental bangsa indonesia,
negara yg qt sayang, negara yg qt banggakan,
tidak hendak menyalahkan siapapun,

krn ini adlh bangsa qt sendiri, saudara qt sendiri,

belom lg bila mendengar cibiran dari negara2 luar, apalh yg qt banggakan,

di asia, cm indonesia negara pengekspor TKW, negara penghasil devisa kuli, kadang klo baca blog2 antar negara, yg isinya perhujatan antar pemuda negara indonesia dg negara2 asia lainnya,

jd malu, indonesia jd bahan olok2 n tertawaan mereka, remaja2 indonesia, cm bs berargument membela semburan olok2 mreka, aplg pemuda2 malaysia di blog2 itu, menghina indonesia skali, memang sich malaysia, bbrp level lbh maju dibanding indonesia, di malaysia sj, bgitu bnyk kuli dan tkw yg bkerja, semntra malaysia tak pernah kan mengekspor tk kasar ke indonesia, mgkn nhy tenaga2 ahli, aplg bila dibanding singapura, jepang, hongkong, korea, uhh lebih malu lg,
indonesia negara kuli, kt mreka, tki2 indonesia suka mencuri, kt mreka, tki2 indonesia miskin,

lg2 kt mreka, dan yg lbh parah, mreka bilang indonesi negeri yg miskin, haram utk disentuh oleh warga negara mreka yg lbh unggul, hmmmm...
ternyata bgitu tohh negara hina ini dipandang di negara luar...


sesak...
negaraku,
mental2 bangsaku, tp memang tak bs dipungkiri sich.. mental negara ini msh miskin, mgkn jg mental q,
msh ingat kejadian perjarahan truk fuso it,
negara ini seperti bangsa yg kelaparan.

dan aq adlh bagian dri bangsa kelaparan ini...

pernah aq utrakan hal ini ke suamiku,

bang, knp yach qt ini dihina, saling hina dg negara luar,
dg malaysia, korea, singapura, dsb,
qt jd bulan2 nan mreka,

asa malu jd bagian dari indonesia bang, negara yg msh miskin, negara yg mental bangsanya pun rendah... itu kenyataan bang, qt akui memang bgitu khan....?

abang kembali lg2, sblm mnjwb sll tersenyum...
" benar dek sayang..., tp knp hrs berpkir sejauh itu, berpkir simple saja...,
bhwa Allah tidak membedakan manusia berdasrkan negara mana negara mana, Allah membedakan manusia cukup mjd 2 bahagian,
qt sbg manusia berakhlak, manusia mulia di mata Allah, atau sbg manusia tidak mulia, cukup itu saja dek...., krn manusia2 di negara malaysia, singapura, korea dsb, jg hamba Allah, dan Allah hny melihat akhlak mreka,..."


hmmm lg2 aq terhenyak oleh kata2 suamiku....
terim ksh syg...
semoga aq bs semakin bijak memandang sgala sesuatunya..
semoga bangsa ini semakin sejahtera.. doaku dlm hati..
agr kalo mereka sejahtera, akhlak bangsa ini, bukan lg akhlak2 penjiarah, pencuri, akhlak2 yg miris seperti yg pernah terjadi dan aku melihatnya sendiri..

semoga saja....
amin.....

asamardi. 10/3/12