Jumat, 16 Maret 2012

Cerpen : Ironi senja Sang Runi

Sudut dapur yang remang dan lembab. Nyala api lampu minyak berbahan kaleng bergoyang-goyang ditiup angin. Asap di tungku melayang-layang mengitari kami yang berada disekelilingnya dan kemudian menerobos keluar melalui celah-celah geribik dapur yang reot. Mata bening Mida, adik bungsuku, berkilat-kilat dan tersenyum senang saat bau wangi ubi kayu yang dibakar dalam tungku menyentuh penciumannya. Sementara Bayu, adik yang lahir tepat dibawahku justru sudah mulai mengantuk selepas maghrib tadi. Aku terus membenarkan nyala arang dari kayu hutan dan ubi didalamnya agar matang sempurna. Bunyi gemerucuk diperutku makin sering saja, seolah protes untuk segera diisi makanan setelah seharian tadi, sepulang sekolah aku belum memasukkan apapun ke dalamnya kecuali air tawar jernih di sungai tempat kami biasanya mencari sayuran rawa yang tumbuh disekitarnya.
Bau wangi ubi membuat anganku melayang membayangkan aku sedang makan roti panggang yang didalamya ditaburi sosis dan keju seperti iklan yang pernah aku lihat di tivi Bu’de Wiwit. Lezat sekali. Padahal bagaimana rasa sosis dan keju akupun belum tau, kata apak* rasanya gurih. ”Runi, coba ambil singkongnya satu untuk adikmu. Sepertinya sudah ada yang matang.” Uni* Lin yang sedari tadi memangku Mida sambil membaca buku pelajaran membuyarkan lamunanku. Aku segera memilih-milih ubi di tungku ”wah, rupanya sudah ada tiga yang matang, Un, ini yang paling empuk buat Mida ya!” aku segera membawanya dan mengupaskannya untuk Mida. Bibir imut Mida tersenyum jenaka, ia kegirangan. ”Biar uni Lin saja yang kupas, nanti tanganmu kepanasan,” pinta uni Lin. ”Bayu mau, Bayu mau! Bayu kupaskan juga ya, Un!” rupanya Bayu tidak jadi ngantuk begitu ubinya matang. Kami makan berbarengan.
Lega rasanya, akhirnya perutku juga tubuh kecil adik-adikku terisi makanan. Meski lagi-lagi harus diisi dengan singkong. Tapi tak apalah daripada tidak makan sama sekali. Musim paceklik begini, hidup didesa bisa makan saja sudah untung. Lagi pula besok pasti bisa makan dengan nasi lagi, sebab apak yang membantu tanam diladang orang dan pulang seminggu sekali, besok sudah pulang. Dalam perjalanan pulangnya, apak selalu pulang dengan barang-barang belanjaan yang dibelinya di toko pak Poniran. Pak Poniran orang kaya di tempat kami. Tanahnya luas dan hasil buminya melimpah. Ia punya mobil truk pengangkut hasil bumi. Hasil buminya selalu dibawa dengan truknya untuk dijual dikota. Terkadang juga sisanya dijual di tokonya yang besar. Aku selalu terkagum-kagum melihat mobil truknya juga rumahnya yang bagus. Tapi ia sangat galak dan suka memaki. Ia selalu berteriak-teriak kalau ada benda-benda miliknya dipegang-pegang atau dikotori. Meskipun tanpa sengaja. Aku pernah kena damprat dan dicaci maki gara-gara kakiku yang tanpa alas penuh lumpur mengotori semen lantai teras rumahnya saat aku mengintip acara tivi diruang tamunya.
Sejak saat itu aku lebih suka liat tivi dirumah bu’de Wiwit. Ia sering memberi aku makan saat aku nonton tivi dirumahnya. sebenarnya aku malu sering-sering kesana dikasih makan. Aku sudah besar, tapi kalau sudah ditawari makan, naluri perut yang selalu menang. Apalagi Bayu dan Mida. Aku tau bu’de kasihan sama aku juga Bayu dan Mida yang sudah ditinggal ibu tujuh bulan yang lalu. Semasa ibu hidup, bu’de Wiwit sangat akrab dengan ibu. Bu’de Wiwit menganggap kami seperti anak-anaknya sebab anak-anaknya sendiri sudah berumah tangga dan hidup memisah. Tapi kata uni Lin, aku jangan terlalu sering kesana. Tak enak kalau terlalu sering dikasih makan.
Bu’de Wiwit dan suaminya orang Jawa yang paling baik yang selalu membela kami saat keluarga kami mendapat ejekan dari penduduk lainnya. Maklum, keluarga kami memang beda diantara keluarga-keluarga lainnya. Tak selevel. Kami yang berbeda suku dan kami yang sangat miskin.
Kami tinggal didesa transmigran di Lampung yang penduduknya hampir semua dari jawa, sementara keluargaku, bapak dari Padang dan ibu dari Bandung. Apak sering diejek hanya karena apak berdarah Padang yang tidak bisa tani. Berdagang kain keliling desa pun ternyata apak bangkrut. Sebenarnya apak tidak akan bangkrut kalau barang dagangannya tidak habis dicuri orang. Kata bu’de Wiwit yang nyuri penduduk sekitar sini juga. Entahlah.
Sementara selentingan wanita-wanita tukang gosip, ibu disebut sebagai wanita yang sering menggoda suami orang. Aneh, apa mereka buta kalau selama ini justru ibu yang sering diganggu oleh suami-suami mereka. Dan apak tidak pernah ambil pusing dengan segala nasib yang menimpa. Apak lebih sering pasrah dan diam. Karena kebangkrutan apak, untuk tetap mampu menghidupi keluarga, apak jadi buruh. Buruh apa saja. Tapi karena pencarian utama didesa adalah tani, ya apak lebih sering buruh tani. Waktu ibu meninggal, Mida masih berumur satu setengah tahun, aku masih kelas lima Sekolah Dasar, Bayu lima tahun dan Uni Lin kelas satu Sekolah Menengah Atas. Sekolah Uni Lin jauh sekali. Didesa atas yang agak sedikit ramai. Kata uni, itu Sekolah Menengah Atas satu-satunya dari berbagai desa di wilayah kami. Yang bersekolah disana hanya anak orang-orang kaya didesa, sementara uni bisa masuk karena uni pintar sehingga dapat beasiswa. Semenjak ibu meninggal, uni Lin yang mengatur urusan rumah tangga. Membagi uang pemberian apak yang satu minggu tidak pernah cukup meski sudah dibuat sehemat mungkin. Kalau sudah begitu, ya terpaksa makan ubi-ubian liar dari kebun orang yang biasanya buat pagar. ”Runi, Bayu, Cepatlah shalat Isya, setelah itu belajar. Kalau sudah ngantuk, segera tidur. Uni mau menidurkan Mida dulu.” Uni berjalan menggendong Mida ke kamar. Aku segera menuju ke ujung dapur. Bayu berlari mengikuti. Ada dua bak air yang sudah kuisi penuh setiap sore. Aku dan Bayu segera berwudhu. Air wudhu menggenangi lantai rumah yang beralas tanah dan kemudian meresap ke dalamnya. Aku ingin hari segera berganti esok pagi. Berharap akan menemukan kebahagiaan saat menjumpai apak. Sebab sebenarnya aku sudah bosan menjadi orang miskin yang terlalu sering dihina. Terlebih tak diakui keberadaannya.
Sering ketika aku dan Bayu ingin bermain dengan teman-teman, oleh Hardi Cs aku tak diikutkan dalam permainan. Hardi anak pak Tugiran bos Perkebunan di tempat kami. Karena itu mereka berdua merasa anak-anak yang hebat. Anehnya, setiap apa yang mereka lakukan selalu dituruti teman-teman yang lainnya. Percuma, walaupun sudah aku lawan, tetap saja aku tidak punya teman. Mereka terlalu merendahkan aku. Lagi-lagi karena aku berbeda suku dengan mereka, terlebih karena aku paling miskin diantara mereka. ”he, wong Sundang ora usah melok-melok dolanan neng kene. Rono-rono ngadoh!” selalu begitu yang diucapkannya. Huh! Awas, suatu saat akan aku balas mereka.
♠♠♠♠♠
Jam lima sore aku, Bayu dan Mida sudah duduk dengan manisnya didepan rumah. Menanti-nanti kedatangan apak. ”Uni Runi, nanti apak bawakan Bayu dan Mida oleh-oleh yang banyak, kemarin Bayu sudah memesannya. Iya kan ,Ni?” bayu mulai berceloteh menyebutkan oleh-oleh apa saja yang ia minta. Namun yang ditunggu, hingga Maghrib menjelang belum datang juga. ”Kenapa sampai malam apak belum juga pulang ya, Un?” Tanyaku resah pada Uni Lin. ”coba ditunggu saja.” Dan hingga jam delapan malam apak belum juga sampai. ” Sudahlah, sekarang kita tidur. Mungkin apak kemalaman atau malah tak pulang. Kalau sampai besok apak belum pulang, kita tanya pak Selamet. Pak Selamet kan satu ladang dengan apak. Ayo sekarang kita tidur saja!”
Ah, sampai fajar menyingsing ternyata apak belum datang juga. ”Un, apak tidak pulang. Berarti kita harus makan singkong lagi dong, berasnya tinggal satu gelas, hanya cukup buat bubur Mida.” ”Tak apa, biar nanti uni yang cari pinjaman beras. Diganti besok setelah apak pulang.” Mata uni Lin sembab, pasti semalaman uni menagis.
Sehari, dua hari, seminggu, apak tidak pulang dan belum ada kabar. ”Runi, koe harus tau, Nduk. Sekarang sedang musim kemarau. Perkebunan tempat bapakmu bekerja ndak bisa tanam dan panen dengan baik. Jadi para pekerjanya juga belum digaji. Mungkin bapak kalian mencari kerja diperkebunan lain. Kalian sabar saja dulu” bu’de Wiwit menasehati. ”iki, bu’de ambilkan makan buatmu dan Mida. Ayo ndang dima’em. Nanti Bayu suruh kesini, ya. Biar ma’em disini juga.” Bayu juga belum makan, tentu nanti ia kesini juga. Sudah dua minggu sejak ketidakpulangan apak, tiap hari kami selalu makan ditempat bu’de Wiwit. Sebenarnya uni Lin selalu masak, tapi manalah kenyang kalau sehari hanya makan secentong nasi yang dicampur parutan singkong dengan lauk garam.
Ah, besok aku ikut Surati ke ladang pak Tugiran saja. Rencananya mau ikut kerja upah panen kedelai. Lagian aku sudah malas sekolah. Gara-gara ibu guru Tantri dikelas nasehati aku yang nunggak belum bayar SPP empat bulan, aku jadi sering diejek teman-teman. Siapa tau kerja upahanku bisa buat bayar SPP. Tapi aku tetap saja malu, gara-gara aku kesekolah ketahuan nggak pake celana dalam, aku jadi terus diejekin tiapa hari. Aku memang nggak punya banyak celana dalam. Cuma punya dua celana. Satu celana olahraga sekolah, satunya celana dalam beneran. Kalau dua-duanya kotor atau basah, ya terpaksa nggak pake. Masih enak Bayu anak laki-laki, kalau nggak pake celana dalam nggak ketahuan.
♠♠♠♠♠
Subuh jam lima, uni Lin siap-siap untuk berangkat kerja. Kata uni, ladangnya jauh. Sudah dua minggu sejak apak tidak pulang, uni Lin tidak pernah sekolah dan memilih bekerja upahan di ladang. Uni Lin tidak tahu kalau aku juga mau kerja upah panen kedele diladang pak Tugiran. Kalau sampai uni tau aku tidak sekolah, aku bisa dimarahnya habis. Apalagi setelah apak dan ibu tidak ada, uni terlalu sering marah-marah. Juga marah-marah sama bapak soal keuangan yang tak mencukupi. Apak hanya diam saja atau malah sering juga menangis.
Kata uni apak terlalu lembek, sehingga setiap usahanya tak pernah sukses. Dihina orangpun apak diam. Dirumah tak bisa makan apak juga diam. Apak Cuma bilang ” apak lah usaha, tapi memang indak ado hasilnyo, ya ba’ajuo lagi.... Coba wa’ang sendiri Lin, cari pinjaman pitih atau barei jo tetanggo sabalah* ” Kalau sudah begitu, omelan Uni justru semakin menjadi.
Matahari sudah terang. Aku dan Surati berjalan beriringan melewati persawahan dan kebun-kebun yang gersang. Surati teman satu-satunya yang akrab denganku. Sebab hanya aku dan dia yang tidak punya teman dan sering dihina oleh Hardi Cs. Bedanya, Surati diejek karena ia terlalu dungu dan bertubuh cacat. Bahkan ia sering diolok-olok gila. Menurutku Hardi Cs-lah yang gila. Mereka selalu mengejekku dan Surati tanpa sebab setiap bertemu. Aku suka berteman dengan Surati, karena menurutku ia tulus dan lugu. Meski aku sering dibuat tertawa terbahak-bahak oleh tingkah dan kata-katanya yang tak jarang tak kumengerti.
Hari kedua aku bekerja, ternyata Hardi tidak sekolah. Ia ada dikebunnya. Ini berarti nasib sial bagi kami. Sedari pagi aku datang ia sudah menatapku dan Surati dengan tatapan tak suka. Kami akan memanen kedelai ditempat yang sedikit jauh saja dari tempat ia dan pak Poniran mengawasi para pekerja.
Tapi sial, tak lama setelah kami mulai bekerja. Ia mendekati aku dan Surati. ”Heh!!! Koe ngopo melok kerjo ndek kene!?” Hardi menbentak kami. ”Rono...!!! poko’e koe wong loro ora oleh melok kerjo nang ladangku, Ndang lungo!!!* ” teriakannya makin keras, tapi pasti tak sampai terdengar oleh ayahnya. ”aku wes bilang sama bapakmu wingi, Har. Kata bapakmu boleh, kok* ” aku tak gentar. Sementara Surati ikut-ikut berbicara dengan kata-katanya yang tak jelas. ”alah...! poko’e kowe, opo meneh wong edan iki, ojo neng kene meneh. Sampe nggak ndang lungo saiki juga, tak bogem kowe. Wani Opo!!!* ” Hardi semakin marah. Bahkan ia menendang aku dan Surati. Aku masih bisa mengelak. Tapi Surati, dengan tubuhnya yang untuk berjalan saja terseok-seok, mendapat tendangan dari Hardi ia langsung terpental. Kami tak akan bisa bertahan lagi. Percuma. Kalau kami masih tetap disana, bisa-bisa kami jadi bulan-bulanannya. Aku dan Surati langsung pergi dari kebun kedelai itu dengan pikiran yang campur aduk. Antara benci, dendam dan sekaligus sedih. Terutama sedih dengan kemiskinan ini. Sehingga terpaksa harus hidup ngenger begini.
”yah, Sur, berarti kita nggak dapet upah hari ini. Atau paling tidak kalau kita masih bisa bekerja sampai jam makan siang, kita bisa dapat jatah bungkusan makan.” Surati nyengir kuda mengiyakan dengan giginya yang hitam bolong-bolong. Dan itu berarti juga aku tidak bisa membawakan Bayu dan Mida separuh dari jatah makanku seperti kemarin. Kasihan Bayu dan Mida setiap hari selalu ditinggal aku dan Uni pergi sekolah. Untungnya Bayu sudah bisa menjaga Mida. Meski kalau aku dan uni sampai rumah, Bayu, Mida juga isi rumah sama-sama berantakannya.
Sampai diujung kebun kedele yang kemarin kami panen, Surati menunjuk-nunjuk biji kedelai ditanah yang tercecer dan memungutinya. Wah, ide bagus. Biji-biji kedelai yang sudah terpecah dari kulitnya memang banyak tak dipunguti. Dari sini tentu Hardi tak akan bisa melihat kami. Yah, kalau tidak bisa bekerja, kan masih bisa dapat biji kedelai. Kalau dapat kira-kira satu rantang bisa dijual di toko pak Poniran. Atau direbus buat dimakan juga gurih. Bisa buat mengganjal perut yang lapar.
Keasikan, ternyata matahari telah diufuk barat. Akan terbenam. Kedelai sudah kami kumpulkan hampir dua rantang. ”ayo kita pulang, Sur! Hari sudah mulai gelap. Uniku pasti sudah sampai rumah!” Ah, kenapa aku bisa lupa pulang terlalu sore. Dengan terburu-buru aku berjalan pulang. Surati terseok-seok mengejarku.
” Kenapa kamu mulai malas sekolah Runi? Kalau Uni nggak sekolah, kamu juga nggak sekolah, mau jadi apa kita. Biarlah saja uni yang bekerja. Kamu jangan ikut-ikut. Apa kamu nggak sekolah karena malu belum bayar SPP? iya? jadi orang susah itu jangan terlalu sering malu. Temanmu juga pasti banyak yang belum bayar SPP, nanti kalau uni sudah dapat upah banyak, uni bayar. Yang penting tetap berangkatlah sekolah. Jangan malas sekolah....dst...dst...” benar saja, sampai rumah aku langsung dimarah uni Lin. Sampai panas kuping ini dinasehatinya. Sebenarnya nasehat uni Lin benar, tapi aku capek juga kalau setiap hari diomelinnya. Bayarin SPP? Huh, alasannya sama juga seperti apak. Nanti lagi-nanti lagi. Diundur lagi-diundur lagi. Tapi, pada saat seperti ini, aku teramat merindukan apak. Apak tidak seperti uni yang cerewet. Apak lembut, tidak pernah marah. Kalau aku salah apak Cuma menasehati dengan lembut. Pernah aku pulang sekolah tidak langsung pulang, tapi pergi kesungai cari ikan sampai sore dan kehujanan. Saat pulang dan sampai depan rumah, apak cuma mengancamku dengan membawa sapu lidi. Tapi ternyata tidak sampai dipukul. Malah aku langsung dimandikan dan dihanduki dengan kelembutannya sambil menasehati. Apak... Aku rindu.... dimana sekarang apak? kenapa apak belum juga pulang-pulang? Ya Allah... semoga tidak terjadi apa-apa dan semoga apak cepat pulang... kami merindukannya.....
♠♠♠♠♠
aku kembali bersekolah. Meski dengan pikiran yang tidak tenang. Sampai pada suatu sore. Saat aku pulang sekolah dan uni Lin belum sampai rumah. Dari samping rumah terdengar sayup-sayup suara apak bercakap-cakap dengan Bayu dan Mida. Apak kembali lagi ke rumah....! Alhamdulillah, ya Allah! Aku telah lama rindu apak ada kebahagiaan dihati ini saat tau apak telah kembali. Tapi apak terlihat sangat kurus.
Saat ditanya kemana saja apak selama ini. Apak menangis dan menciumi kami. Apak minta maaf pada kami karena telah menelantarkannya. Apak bercerita, saat apak bekerja dikebun orang, baru sehari bekerja apak sakit. TBC apak menjadi-jadi. Apak tidak sanggup bekerja namun apak juga tidak mampu untuk pulang kerumah menemui anak-anaknya tanpa membawa hasil dan dengan kondisi sakit. Akhirnya apak putuskan untuk menemui adik-adik apak dikota. Apak berharap mendapat bantuan dari mereka. Mungkin mereka sudah bosan dengan kehadiran apak. Kenyataannya, bukannya diterima dengan baik, apak justru dicaci maki. Apak jadi gelandangan di kota sampai akhirnya bisa pulang menemui kami lagi. Masih dalam kondisi sakit. Ya, apak masih sakit. Saat aku dipeluk apak, tubuh apak panas sekali dan batuknya tak henti-henti. Apalagi kalau malam tiba.
Menanggapi cerita apak, uni Lin justru teramat kecewa kenapa apak meninggalkan anak-anaknya selama itu tanpa ijin dan membiarkan anak-anaknya terlantar. Sehingga terpaksa uni harus melepaskan sekolahnya demi kelangsungan hidup adik-adiknya. Apak kembali terdiam, menangis.... ah, apak terlalu sering menangis. Lebih sering daripada anak-anaknya menangis.
Hari-hari selanjutnya, apak belum bisa bekerja. Sudah pasti uni Lin lah yang bekerja. Aku juga Bayu merawat apak dirumah yang tak bisa lagi beranjak dari tempat tidur. Semakin lama sakit apak justru kian menjadi. Dahak batuk yang dikeluarkan apak lebih sering cairan-cairan kental darah. Dan sekarang apak lebih sering marah. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya semasa sehat. Salah sedikit menuruti permintaanya, apak bisa membentak. Kata-katanya kasar. Dan apak jadi suka sekali makan. Sebentar-sebentar minta diambilkan makan. Padahal sudah tidak ada apa-apa didapur. Sepertinya apak juga telah pikun, setiap setengan jam habis diberi makan, apak mengeluh minta makan dan teriak-teriak mengatakan seharian belum dikasih makan. Terpaksa aku harus merebus singkong karet yang rasanya pahit untuk dimakan sekadar mengganjal perut apak yang selalu lapar.
Uni Lin sudah tidak tahan dengan keadaan apak. Uni tidak perduli dengan kondisi apak yang sakit. Ia marah. ”apak kenapa sekarang justru hidup membebani anak-anak apak. Kalau apak tidak mampu menafkahi anak, cukuplah diam dan jangan minta yang aneh-aneh. Kami sudah tidak sanggup lagi mengurus apak. Terserah apak mau apa kami tdak perduli. Aku sudah capek, Pak....!!!” kata-kata itu keluar dari bibir Uni Lin. Uni benar-benar marah dan kecewa. Mungkin juga marah dengan keadaan. Mendengar kata-kata uni Lin, apak yang belakangan ini sering marah jadi tersulut. ”O.., anak indak mengerti tata krama wa’ang! Lah jaleh apak cando iko sakiek. Wa’ang caci makiek pula. Kundik wa’ang!!!*” pertengkaran pun belanjut. Uni menumpahkan kekesalannya selama ini, sementara apak semakin sulit bisa dimengerti.
Hari selanjutnya, oleh uni, apak tidak boleh diberi makan. ”Runi, jangan kamu beri makan dan turuti apa mau apak. biar apak tau diri dan sadar!!!” aku tidak habis pikir kenapa uni jadi begitu tega terhadap apak. Sementara hampir setiap saat apak berteriak-teriak memanggilku, ”Runi...! Runi...! dimana kamu. Ambilkan apak makan...” aku tidak tega mendengarnya. Tapi memberi makan apak, aku takut dengan larangan Uni Lin. Lebih baik aku pergi bermain keluar, menjaga Bayu dan Mida.
Saat sore tiba kami baru pulang kerumah. Hari mulai gelap. Tapi kenapa rumah sepi dan lampu minyak belum dinyalakan. Arang ditungku masih menyala. Bisa untuk menghidupkan lampu minyak. Saat lampu menyala kulihat apak masih tertidur menghadap dinding papan yang rapuh. Serapuh tubuh apak yang kulihat. Bayu dan Mida duduk dikursi berpelukan. ”Pak, Apak, bangun pak. Sudah Maghrib.” Bayu dan Mida berlari mendekati apak dan mencium apak. Tapi tubuh apak dingin dan kaku. ”Pak....!!! Apa......k bangun....!!! Aku tidak tau apa yang terjadi. Aku hanya dapat berlari menuju rumah bu’de Wiwit meminta bantuan.
” Koe sabar yo, Nduk. Iki wes nasibmu. Do’akan saja bapakmu dialam sana tenang dan diterima Gusti Allah*.” bu’de Wiwit memelukku. Apak telah pergi. Ya, apak telah pergi menyusul ibu. Meninggalkan kami sendirian penuh kedukaan. Begitu juga Uni yang sore itu semakin meninggalkan kepedihan dan kesepian untukku juga Mida dan Bayu.
♠♠♠♠♠
Uni..., dimana uni sekarang...? Uni..., sudah lima tahun kepergian apak, juga sudah lima tahun uni pergi belum kembali kekampung. Taukah uni bahwa apak telah pergi menyusul ibu. Sekarang Runi sendiri tanpa saudara dikampung. Tinggal dengan bu’de Wiwit. Bayu dan Mida telah diambil pak cik* Masri, dikota. Uni... sekarang usia Runi sudah lima belas tahun, mungkin sekarang saatnya Runi mencari uni, juga Bayu dan Mida. Runi ingin kita bisa berkumpul seperti dulu kembali. Tuhan... maafkan segala dosaku. Mudahkan jalanku Ya... Tuhan.... Semoga Kau pertemukan aku kembali dengan mereka....
jkt, 29mei11
Teruntuk orang-orang yang selalu menjadi inspirasi dan motivasiq

Keterangan: ( * )
Bahasa Padang
- Apak : Bapak
-Uni : sebutan kakak perempuan
- Apak lah usaha, tapi memang indak ado hasilnyo, ya ba’ajuo lagi.... Coba wa’ang sendiri Lin, cari pinjaman pitih atau barei jo tetanggo sabalah : Bapak telah berusaha, tapi memang tidak ada hasinya, ya babaimana lagi. Coba kamu sendiri, Lin. Cari pinjaman uang atau beras sama tetangga dekat.
- O.., anak indak mengerti tata krama wa’ang! Lah jaleh apak cando iko sakiek. Wa’ang caci makiek pula. Kundik wa’ang!!! : O..., anak tidak mengerti sopan santun kamu, Sudah tau bapak sakit seperti ini. Kamu caci maki juga. Babi (maaf) kamu!
-pak cik : paman

Bahasa Jawa
- he, wong Sundang ora oleh melok-melok dolanan neng kene. Rono-rono ngadoh!:
he, orang Sundang ( singkatan: Sunda Padang) tidak boleh ikut-ikut bermain di sini. San-san pergi menjauh!
- Heh! Koe ngopo melok kerjo ndek kene? : Heh. Kamu kenapa ikut kerja disini
- Rono...! poko’e koe wong loro ora oleh melok kerjo nang ladangku, Ndang lungo!!! :
Sana....! pokoknya kamu berdua tidak boleh ikut kerja di ladangku, sana cepat Pergi!!!
- aku wes bilang sama bapakmu wingi, Har. Kata bapakmu boleh, kok: aku sudah ijin sama bapak kamu kemarin, Har. Kata bapakmu boleh kok.
- alah...! poko’e kowe, opo meneh wong edan iki, ojo neng kene meneh. Sampe nggak ndang lungo saiki juga, tak bogem kowe. Wani Opo!!! : Alah...! pokoknya kamu, apalgi orang gila ini, jangan ada disini lagi. Sampai tidak cepat pergi sekarang juga. Saya tinju kalian. Berani Apa!!!
- Koe sabar yo, Nduk. Iki wes nasibmu. Do’akan saja bapakmu dialam sana tenang dan diterima Gusti Allah : kamu saba ya, Nak. Ini sudah nasibmu. Do’akan saja bapakmu tenang dan diterima Allah.

by: asamardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar