Jumat, 16 Maret 2012

Cerpen, Mendung di mata Aini

”Brak!” Tas ransel yang dilemparkan itu jatuh dihadapan Aini, setelah sebelumnya tepat mengenai kepalanya. ”Cepat pergi kamu dari sini sekarang juga!” ”Cepat! Sebelum aku benar-benar melemparkanmu keluar!” Suara wanita itu semakin meninggi. Aini tak dapat lagi menahan dirinya untuk tetap berada dirumah itu, ia harus pergi malam itu juga. Ia harus benar-benar pergi meninggalkan rumah yang telah sedikit menghibur hari-harinya hampir dua tahun belakangan ini. Setelah sebelumnya ia harus kehilangan seluruh keluarga, orang-orang yang ia kenal akibat bencana itu, bencana yang telah memberangus habis seluruh harapannya. Harapan yang tinggal menyisakan perih didadanya. Melihat masa depannya yang hancur luluhlantak, seluluhlantak bumi yang ia pijak, yang telah membawa serta keluarga yang teramat ia cintai ke alam yang tak akan pernah membawa mereka kembali lagi. Tinggal ia sendiri.
Hingga harapan itu datang. Harapan akan masa depan yang lebih baik. Setidaknya setelah ia tak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Meski ia tau, harapan itu tetap tak dapat mengobati luka hatinya. Ia kembali sadar bahwa apa yang telah terenggut darinya adalah takdir atas hidupnya. Ia tau ini kehendak dan kuasa-Nya. Dan ia tak sendiri. Banyak manusia yang mengalami nasib sepertinya. Ini menjadikannya lebih kuat. Kekuatan yang pula ia bangun atas penerimaan yang baik dari orang tua barunya. Lelaki yang harus ia sebut papa, telah mampu menggantikan posisi ayah dalam dirinya, beliau begitu bijak, begitu arif layaknya seorang ayah dalam memberikan nasehat dan pandangan hidup yang telah ia jalani. Banyak waktu yang Aini habiskan dengan Ayah barunya, untuk bercerita dan melabuhkan luka hatinya yang belum jua sembuh.
Hingga tanpa Aini sadari, hari-hari yang ia lewatkan di rumah itu, telah menciptakan kecemburuan pada wanita yang juga harus disebutnya mama. Wanita yang awalnya begitu lembut dan menyayanginya. Yang kemudian berubah tanpa Aini bisa pahami dan sulit untuk ia selami.
Entah kecemburuan macam apa. Kecemburuan karena kasih suaminya yang harus terbagi untuk Aini, sebagai anak dan bagian baru baginya. Yang mungkin mengurangi kasih suaminya yang awalnya utuh hanya untuk istrinya. Atau kecemburuan macam istri yang melihat suaminya seolah berbagi kasih dengan wanita lain. Entahlah, Aini tak cukup memahami.
Sampai tiba malam itu, ketika hanya ada ia dan wanita itu dirumah, wanita yang sudah berusaha ia cintai seperti ibunya, berteriak-teriak mengusirnya atas sebab yang ia tak pahami. ”Kesabaranku sudah habis, jangan sisakan sedikitpun barang-barangmu dirumah ini. Kurang ajar! Tidak tau balas budi! Pergi! Sudah ditolong, justru mau merebut suami orang.....” Blar! Suara itu terdengar bagai bom yang memekakkan ditelinga Aini, menciptakan ledakan-ledakan tak terkira ditiap kisi hatinya. Tuhan..., Kenapa dengan wanita lembut ini? Aku seolah tak mengenalinya lagi, kenapa ia berubah sekasar ini? Jadi sikapnya berubah selama ini karena ia cemburu padaku? Tidak! Mengapa ia selama ini tak pernah mengenalku secara utuh. Sampai sebegitu teganya ia menuduhku seperti itu. aku tidak mungkin tega berbuat seperti itu, pada orang tua yang kini sudah teramat aku cintai seperti orang tuaku sendiri! Bantah Aini dalam hati.
Aini sadar, ia bukan anak mereka, apalagi ia dipertemukan mereka saat usianya sudah lima belas tahun. Usia yang mungkin pantas untuk dicemburui bagi seorang wanita. Tapi tidak bagi Aini, sebab dalam hatinya telah tertanam tulus cinta layaknya anak untuk mereka. Bukan kondisi seperti ini yang Aini harapkan. Namun Apabila harus ada pikiran buruk yang tertanam di hati wanita itu, Aini tak akan bisa mencegahnya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya dan tak ada derai air mata yang keluar dari matanya untuk mengiringi kepergiannya malam itu. Bukankah itu tidak terlalu menyakitkan bila dibandingkan saat ia harus kehilangan keluarganya setahun yang lalu. Toh sebelumnyapun ia tak mempunyai siap-siapa. Meski dulu, bukan ia yang meminta untuk menjadi salah satu bagian dari mereka, sebagai anak yang mereka idamkan atas ketidak mampuan mereka untuk melahirkan anak sendiri. Atau mungkin sebagai rasa iba atas ribuan anak yang mengalami nasib sepertinya. Aini telah benar-benar tak mengerti. Kini ia pergi. Meski tak tau kemana ia harus melangkahkan kaki.

♣♣♣♣♣

Dingin udara pagi buta terasa menusuk kulit. Menciptakan ngilu di persendian. Terlebih bagi manusia-manusia jalanan yang hanya mampu menciptakan mimpi malam pada emperan-emperan toko, kolong-kolong jembatan. Aini bergegas bangun dari tidurnya. Ia harus segera menyiapkan sarapan pagi juga menyiapkan air panas untuk mandi, sebelum tuan-tuan rumahnya berangkat beraktivitas. Baru setelah itu ia melakukan pekerjaan rumah lainnya. Ya, telah satu minggu Aini tinggal pada sebuah keluarga. Ia tinggal bersama mereka, tentu bukan berstatus sebagai anak seperti ketika pertama kali ia menjejakkan kakinya di tanah ini, tapi sebagai seorang pembantu. Tak apa bagi Aini. Lagipula apalagi status yang pantas bagiku setelah aku sendirian di dunia ini. Pasarah Aini.
Tapi ternyata hidup memang terlalu mengujinya. Kembali ia berada pada tempat yang mengharuskannya kuat menjalani hidup ini. Beberapa lama ia tinggal disana, telah terlalu sering ia diperlakukan kurang sopan oleh putra-putra tuannya.
Peristiwa itu kembali menyeruak semua luka lamanya, ketika luka itu telah mampu ia kubur utuh. Saat ia membersihkan kamar salah satu putra tuannya. Ternyata laki-laki muda itu menjebaknya. Aini berontak sekuat tenaga berusaha keluar dari kamar itu. Namun, seluruh teriakan dan kekuatan yang ia miliki tak mampu membuatnya bebas. Hanya ada ribuan doa dan pasrah yang bisa ia lakukan. Hingga keajaiban itu datang berpihak padanya. Keajaiban dari-Nya yang tak pernah Aini dapat mengira. Pintu kamar diketuk ketika laki-laki biadab itu hendak mengoyak harga dirinya. ”Cepat masuk kamar mandi dan jangan beritindak macam-macam jika kamu ingin nyawamu selamat!” Ucap laki-laki itu mengancam sekenanya. Aini segera menyambar pakaiannya dan berlari kekamar mandi sementara pintu terus diketuk. ”Tonny..., lama sekali kamu didalam. Ayo buka pintunya!” Ternyata ibu lelaki biadab itu. ”Iya, Mam, sebentar” Grek! Pintu terbuka. ” Ada apa, Mam?” ”Kamu tau Aini kemana, Ton? Mama cari di kamar, di dapur nggak ada. Mama mau menyuruhnya.” Dalam benak laki-laki muda itu berpikir keras. Di kamar mandi, Aini mencoba menenangkan nafasnya yang tersengal. Namun ia masih mendengar percakapan itu dengan jelas, hingga memunculkan ide. Ia segera menyikat lantai kamar mandi yang menimbulkan suara gesekan-gesekan lantai disikat. ”O, i...itu Aini, Mam. Dia lagi nyikat lantai kamar mandi Tonny!” jawab laki-laki muda itu sekenanya. Bergetar Aini Melongokkan wajahnya. ”Iya, Bu. Saya sedang membersihkan kamar mandi disini. Maaf, apa Ibu memanggil saya?” Aini segera keluar dari kamar mandi dengan menahan dada yang bergemuruh.” Entah apa yang ada dibenak wanita tua itu, yang jelas Aini justru berharap wanita itu tak mengetahui kejadian sebenarnya. Walau ia sangat bersyukur atas pertolongan yang tanpa disadari wanita tua itu. ”Aini, tolong kamu keluar rumah dulu, belikan saya cat rambut seperti biasanya, ya!” pinta wanita itu. ”Baik, Bu.” Aini bergegas keluar dari kamar itu, ia berlari menuruni tangga dengan beribu sesak yang menjejali dada dan pikirannya. Rupanya wanita tua itu benar-benar tak mengetahui kejadian sebenarnya didalam kamar anaknya.
Ya, aku harus keluar dari rumah ini! seperti pinta wanita itu. Tapi tidak untuk kembali lagi. Aku harus benar-benar pergi dari rumah ini. Aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku bila aku masih bertahan disini! Terima kasih ya Tuhan, Ternyata Kau masih menyayangiku... ucap batin Aini. Meski ia sendiri tak dapat memastikan apakah di luar sana kehidupannya akan jauh lebih baik. Ia pergi tanpa seorangpun tau. Kembali, untuk kesekian kalinya, Aini berkelana membawa luka hatinya.

♣♣♣♣♣

Langit sore kian gelap. Awan hitam berarak memayungi bumi. Menyisakan kepekatan didalamnya yang siap menjatuhkan panah-panah cair membasahi bumi. Aini terus berjalan dalam gamang. Sepasang matanya menatap kosong, sekosong akan harapan yang ia tapaki. Tak tau kemana ia harus pergi. Telah ribuan kali ia mengadu. Mengadu pada pohon, pada sungai, pada jalan, pada alam yang telah sekian lama menemaninya di jalalan. Namun ia tak pernah tau jawabnya. Sebab ia masih terus berjalan tanpa tau kemana ia harus pergi, sementara kepercayaanya pada setiap orang telah demikian terkikis. Mungkin ia harus terus berjalan hingga suatu saat ia akan menemukan tempat terbaik untuknya.
Dunia jalanan telah ia lalui bermalam-malam. Dunia baru yang mulai ia akrapi dan mengajarkannya banyak hal akan keras dan kotornya hidup. Dunia yang mungkin tercipta hanya untuk orang-orang sepertinya. Yang mengubah pola pikirnya tentang mahalnya kesucian dan harga diri yang tak lagi bergema disitu. Yang kerap diperjualbelikan demi sesuap nasi. Hingga membawanya ke relung pasrah bila kemudian ia menjadi bagian dalam dunia keras dan kotor itu. Sesuatu yang ia hinakan dulu, dulu sekali, ketika ia masih utuh bersama keluarganya. Yang kian lama runtuh terkikis bersama waktu-waktu dan kenyataan yang ia jalani. Bahkan hanya dunia itu yang mampu menerimanya ketika ia terdampar dalam ketidakberdayaan. Dengan seperti itu maka tak ada lagi kesedihan baginya, sebab kesedihan itu sendiri adalah bagian dari dirinya kini. Ya, benar, apabila sesuatu rasa telah menyatu pada hati seseorang, terkadang ia tak dapat lagi merasakan rasa itu.
Pun tak ada lagi kesedihan dalam dirinya atas peristiwa malam itu. Peristiwa besar yang seharusnya mengguncang batinnya, bahkan batin setiap gadis yang kehilangan sesuatu yang ia banggakan, namun harus terenggut paksa. Ketika semua insan terlelap dalam buai malam, dirinya terkoyak-koyak oleh preman-preman jalanan budak alkohol itu. Mereka, manusia-manusia jalanan yang melihat peristiwa itu seolah tak melihat apa-apa dan membiarkan itu terjadi begitu saja. Mungkin itu peristiwa biasa dibenak mereka. Peristiwa itu justru seolah seperti prosesi upacara khusus untuk Aini, sebagai tanda untuk menjadi bagian dari mereka, manusia-manusia jalanan. Yang nyaris setiap penghuninya tak memiliki kebanggaan apapun pada dirinya, kecuali kehinaan.
Ia tak harus menjadi dirinya yang dulu, sebab dunianya telah berbeda. Aini yakin, ini takdirnya tanpa ia sendiri mampu menolaknya. Dan ia pun tak pernah hendak mencoba kembali seperti masa yang ia jalani sebelumnya. Masa-masa ketika ia menjadi anak angkat, atau sekedar pembantu. Yang keduanya jauh lebih terhormat dari masa yang justru sedang ia jalani kini. Namun baginya sama saja, sama-sama menorehkan luka dihatinya. Justru hari-hari yang terus Aini jalani dijalanan semakin ia nikmati. Ia telah semakin terbiasa dengan kelaparan dan dinginnya malam. Dengan kerasnya hidup.
Sampai suatu malam, di sudut pasar yang kumuh dan bau, dalam dinginnya malam, tubuhnya mengigil hebat, dengan bibir yang membiru. Ternyata ia harus kalah dengan keadaan. Ia Sakit. Tubuhnya terkulai pingsan tak berdaya.

♣♣♣♣♣

Aini tersenyum sangat bahagia. akhirnya ia bisa bersatu dan melihat keluarganya yang utuh. Bunda, Ayah, juga kakak dan adik-adiknya. Mereka semua begitu dekat dan menatap lekat-lekat Aini. Aini tersenyum dalam kerinduan yang luar biasa. Namun saat ia ingin berlari memeluk, seolah ia terpasung. Ia berusaha sekuat tenaga berontak. Dan itu justru menyebabkan bumi yang ia pijak runtuh dan menghempaskannya jauh ke alam yang kembali membuatnya sendiri. Ia kembali ke alam sadar. Aini membuka mata, ia berbaring diatas dipan ”dimana aku?” ”Tenang sayang..., kamu ada dirumah tante. Sudah siuman rupanya kamu.” Seorang wanita cantik setengah baya dengan dandanan menor sudah ada dihadapannya. ”minumlah air hangat ini, sudah berjam-jam kamu tak sadarkan diri.” Wanita itu menyodorkan air hangat ke mulut Aini yang masih lemah. Aini ingat, ia pingsan setelah sakit luar biasa yang ia rasakan malam itu. ”terima kasih. Nyonya telah menyelamatkan saya. Saya tidak tau bagaimana harus membalas budi baik Nyonya” ”Eit, panggil saja saya tante. Kamu tidak perlu sungkan-sungkan ya! Dan ingat kamu tidak perlu balas budi. Kamu sangat cantik, terlalu sayang jika kamu berada dijalanan. justru tante akan membuat hidupmu lebih bahagia, Cantik!” Wanita genit berpakaian seksi namun menyimpan banyak lemak dilipatan tubuhnya itu tersenyum. Senyum liar yang mengerikan.
♣♣♣♣♣

Suara bingar musik diiringi kerlap lampu khas diskotik memenuhi ruangan yang penuh di hinggapi manusia-manusia yang mencari kesenangan malam. Bau sengak minuman keras dan asap rokok terasa biasa bagi penghuni-penghuninya. Mereka yang muda, energik menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti hentakan musik. Di beberapa sisi ruangan, tampak wanita-wanita seksi penggoda pria-pria hidung belang. Lelaki tua namun sok bergaya muda dan perlente duduk dengan bangganya bermesraan dengan gadis cantik belasan yang baru dua minggu ini ia kenal. Seorang gadis yang mencoba melupakan masa kelamnya, dengan kegembiraan palsu dan senyum gincu.

asamardi
jkt, 25 mei, 11
Teruntuk org2 yg menginspirasiku.., thanks silla.
love u mom khunaina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar