Jumat, 16 Maret 2012

Cerpen: Kursi oh Kursi

Ternyata banyak cerita diseputar kita bila dirunut banyak yang menarik. Walau Cuma sebuah cerita yang sederhana. Tentang kursi misalnya. Saya ingat saat awal menikah, kami hanya menempati satu ruangan yang cukup kecil untuk bernaung. Tentu saja itupun masih kontrak. Herannya saya fine-fine saja, sedikitpun tak menyesali “kepapa-an” ini. Maklum keluarga baru, semuanya bak surga asal didekatmu,..suit,..suit,… Sebenarnya yang punya kontrakan, wanita tua yang sholehah, yang mencintai kami (sudah kelihatan baunya bila dicintai orang) memberi pinjaman kami satu set kursi kuno. Tapi setelah kami pikir-pikir satu set kursi itu malah memakan banyak tempat karena tempat yang sangat kecil. Akhirnya kursinya kami keluarkan, dan membeli karpet baru tuk sekedar bisa duduk diruang yang kami anggap “ruang tamu”. Ketika anak pertama lahir, tak masalah dengan ruangan kecil kami, bila ia sedang rewel, bisa kuhibur diluar ruangan, yang lagi-lagi berandanya tak terlalu lebar.
Tapi ketika anak kedua sedang bersemayam didalam perut, saya sudah mulai jengah dengan ke”sempitan” ini. Kubilang pada suami untuk usahakan tempat yang lebih lega. Dua anak, dua orangtua tak bisa berbuat banyak untuk mengekplorasi diri ditempat yang sangat kecil, meski tak sampai membuat sempit hati. Syukurlah Allah sangat baik, kami diperbolehkan tempati rumah dinas yang baru saja direnovasi. Ini yang kami sebut “rumah” yang sesungguhnya. Karena ada banyak ruang, beranda, dapur juga kamar mandi .Dari kontrakan kami yang pertama, kerumah dinas suami jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 300 meter, karena jumlah barang kami yang sedikit, pindahannyapun cukup pakai “keseran” semacam gerobak yang didorong orang. Tak masalah, apalagi si keseran tadi Cuma dua kali bolak balik, beres. Masalahnya ruang tamu yang lebar, tak terpikir kursi yang menghiasinya. Namun, lagi-lagi Allah memberi kami senyum. Saat berkunjung kerumah mertua, sembari kami beritahukan kepindahan kami, beliau memberi suami amplop, katanya untuk beli satu set kursi tamu, kata beliau biar simbah kalau berkunjung tak perlu slonjoran, duduk dibawah. Suamiku dengan sigap menjawab:” Pak, tak usah ,..tak usah sungkan,..”katanya sambil menerima dengan binar mata yang berseri.
Saat kami pindah rumah lagi (maklum kontraktor, sabar saja deh) ke rumah dinas yang lain lagi, ternyata kursi yang diberi oleh mertua sudah mulai rusak. Yah, harap maklum sudah berusia empat tahun dan kwalitasnyapun tak bagus. “ono rega,..ono rupa” maksudnya ada harga ada kwalitas, tapi kami tak gundah, ada kursi pengganti dari “peninggalan” ibu yang pindah rumah. Nah saya ketiban kursi-kursinya, lumayan tuk ganti kursi yang mulai rusak. Lha kok ndilalah lagi, kami disuruh pindah lagi, sebelum aba-aba jelas dari pimpinan, saya sudah “mencium baunya”. Kemudian saya bilang pada suami ”Mas, sepertinya sudah pada titik nadir dalam urusan kontraktor alias pindah-pindah terus , kita harus punya rumah,..” . Suamiku mengangguk, tanda seorang suami, ayah yang bijak, sekuat tenaga mau beri payung yang kuat tuk berteduh buat keluarganya. Aduh bangga dan terharunya,..
Akhirnya, rumah mungilpun akhirnya terbeli. Syukur tak terhingga, meski mungil tapi cukup apik ketika kami renovasi jadi dua lantai. Trus kursinya? Yah tetep kursi lawas-ku, perolehan dari ibu. Namun akhirnya setelah sekian lama baru kepikiran beli kursi sendiri, tentu dengan putar otak agar satu set kursi minimalis itu berharga tak semestinya, alias harga diskon karena ,..seperti biasa harga pertemanan. Solusinya cari teman yang jual kursi. Tak terkira, bahagia diriku, setelah sekian lama berumahtangga, baru kali ini punya kursi sendiri ! Kursi yang nyaman tuk diduduki karena tak kredit, Kursi tempat tamu datang dan utarakan maksud hatinya, kursi tempat kami berkumpul untuk bersama baca Al Qur’an seusai shalat maghrib dan subuh,..bukan kursi untuk duduk dan merencanakan keburukan, membuat ghibah atau berbuat aneh-aneh lainnya.
Ada apa dengan kursi? Kenapa orang se Indonesia baru suka meributkan si Kursi ini? Woow jebulnya satu buah kursi anggota DPR seharga sebelas sampai dua belas kali lipat dari harga kursi satu set kami,..sungguh berlebihan! Belum lagi renovasi ruang rapatnya, sampai 20 milyar? Langsung pendapat bersliweran,yang hampir semuanya bernada “min0r”. Semuanya nyata di mark up seperti temannya make up ya,.mosok harga pengadaan kalender 1,3 milyar, obat kuat 250 juta lebih, renovasi parkir sepeda motor, bisa ratusan sampai milyaran. Memang obat kuat untuk siapa, biar apa?, kalender segitu itu mau dicetak berapa juta buah?, lha sing mau parkir sepeda motor itu siapa saja? Piye? Hampir semua tamu dan anggota DPR naik mobil ber AC yang kinclong. Tukang kebun, juru parkir atau siapa, dengan jumlah sebegitu fantastis? Kami pun terbahak melihat seorang ibu yang berapi-api menerangkan setiap sudut ruang pertemuan baru itu, dalam hati,..ckck,..hebat berapa banyak orang Indonesia yang berpikiran se”hebat” itu,..
Saya teringat dengan seorang pemimpin umat yang sangat rendah hati. Beliau memilih tidur beralaskan daun kurma kering, hingga ketika bangun, terlihat “tanda mata” dipipinya dari alas tidurnya. Bahkan saya ragu apakah beliau punya satu set kursi? Ya Nabi-ku Muhammad saw, tak pernah berpikir sesuatu yang bersifat “hedonism” tuk rencanakan sesuatu yang terbaik buat umatnya. Ditengah kesederhanaannya, beliau hasilkan sesuatu yang hebat, luarbiasa untuk seluruh umat didunia. Bisakah pemimpin kita yang duduk dikursi empuk bin mahal itu langsung bisa “encer” memproses segala sesuatu yang berhubungan dengan memikirkan kebutuan masalah masyarakat? Atau malah jadi semacam pemeo, semakin empuk kursi, semakin ngantuk, ketiduran hingga amnesia tuk pikirkan kesejahteraan rakyat? Dan lampu diruangan rapat itu bak lampu disko, yang bisa disetel sesuai kebutuhan. Sangat terang, sedang atau redup mendayu-ndayu. Apakah mampu menerangi hati Wakil kita yang duduk disitu agar tak suka dengan uang panas, menjauhi suap dan hal-hal tak amanah lainnya?. Bisakah mereka rendah hati dan bijak diri bak Umar bin Abdul Aziz, pemimpin dinasti Umayyah yang sangat saya banggakan. Kisah yang inspiratif dari sebuah lampu. Beliau meniup lampu minyaknya, diruang kerjanya pada malam hari (karena beliau pekerja keras), saat anak kandungnya menjumpainya untuk urusan keluarga. Anak lelaki yang kebingungan karena berbicara dalam kegelapan dengan ayahnya itu, kemudian baru paham saat ayahnya berkata : “Nak, kita berbicara masalah keluarga, sedang lampu yang berminyak itu milik rakyat. Tak sepantasnya kita pergunakan milik rakyat hanya untuk urusan pribadi,..Subhanallah,..tercekat saya dengan pernyataan Umar itu. Kubayangkan dengan mata berbinar dan seolah memohon para wakil rakyat itu mengerti, kalau kursi, ruang rapat yang megah, mobilnya, dan apapun yang menempel pada atributnya adalah milik rakyat. Bila sudah diberi yang terbaik, apa yang bisa mereka lakukan untuk rakyat? Ah,.daripada mikirin kursi mereka, mending duduk dikursiku sendiri yang tak terlalu empuk, sambil pandangi dari kejauhan di televisi, act apa yang akan mereka suguhkan hari ini, untuk esok,..sambil masih bingung dan penuh tanda Tanya, obat kuat itu untuk apa ya,..mungkin ada yang tahu?
Sukoharjo, 21 Januari 2012
Salam hangat yang paliiiing anget

catatan my sister, candra nila murti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar